Rabu, 14 November 2012

ماذا في عاشوراء ؟


ماذا في عاشوراء ؟
                    بادئ ذي بدء حريّ بنا أن نعلم ما هو عاشوراء.

Selasa, 13 November 2012

klasifikasi kejujuran


PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi. Shalawat serta salam bagi Nabi yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Cahaya beliaulah makhluq yang pertama diciptakan oleh Maha Pencipta.

Senin, 12 November 2012

Renungan Akhir Tahun


Rasanya baru kemarin kita berpuasa Ramadhan, orang-orang berduyun-duyun pergi ke masjid guna menjalankan shalat tarawih. Dan 'Idul Fitri lewat begitu saja, tanpa terasa kita sudah berada di penghujung bulan terakhir dari kalender tahun hijriah, yaitu bulan Dzulhijjah.

Minggu, 11 November 2012

SYARAT DAN ETIKA MUFASSIR


SYARAT DAN ETIKA MUFASSIR
Kita tahu, bahwa tafsir merupakan salah satu jalan untuk memahami kitab yang diturunkan Allah kapada nabi Muhammad SAW yang tercinta. Sangat mustahil seseorang akan paham Alqur’an secara kamil kalau tidak tahu tentang tafsir.

Sabtu, 10 November 2012

METODE TAFSIR AL-QUR’AN


METODE TAFSIR AL-QUR’AN
PENGERTIAN METODE TAFSIR
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan. Di dalam pemakaian bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud {dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya); cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.
Sedangkan tafsir secara bahasa berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).
Jadi yang dimaksud metode tafsir Al-Qur’an adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
METODE-METODE PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Dari sekian lama perjalanan sejarah penafsiran Al-Qur’an, banyak ditemui beragam tafsir dengan metode dan corak yang berbeda-beda.Al-Farmawi membagi tafsir dari segi metodenya menjadi empat bagian yaitu: metode tahlili, ijmali, Muqaaran dan maudhu’i.
  1. Metode Tafsir Tahlily
Metode Tafsir Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau Sahabat, atau para Tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, seperti kebahasaan, hukum, sejarah dan lain-lain yang dipandang dapat membantu memahami nash Al-Qur’an tersebut.
Kitab-kitab yang menggunakan metode ini diantaranya Tafsir al-Qur’an al-‘azhim karya Ibn Katsir, dan Tafsir Kabir karya Fakhr al-Din al-Razi.  
Kelebihan metode Tahlily
·         Dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan tertib ayat atau surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf.
·         Mudah mengetahui relevansi/munasabah antara suatu surat atau ayat dengan surat atau ayat lainnya.
·         Memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau hampir sama.
·         Mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan lain-lain.
Kelemahan metode Tahlily
·         Menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.
·         Faktor subyektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya.
·         Terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang mempunyai tema yang sama.
·         Masuknya pemikiran Israiliyyat.
  1. Metode Tafsir Ijmaly
Metode Tafsir Ijmaly adalah suatu metode Tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada di dalam mushaf. Kemudian  mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Muffasir dengan metode ini, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan Al-Qur’an. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah Al-Qur’an sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampai kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbab al-nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya.
Metode ini digunakan oleh beberapa kitab diantaranya Tafsir al-jalalain, karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli, Shofwah al-bayan Lima’ani Al-Qur’an, karya Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf.
Kelebihan metode Ijmaly
·         Praktis dan mudah dipahami,
·         Bebas dari penafsiran israiliyat dan akrab dengan bahasa Al-Qur’an
Kekurangan metode ijmaly
·         Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat Parsial dan Tidak mampu mengantarkan pembaca untuk                                                                                     mendialogkan Al-Qur’an dengan permasalahan sosial maupun keilmuan yang aktual dan problematis.
  1. Metode Tafsir Muqaran
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah mufassir. Disini seorang mufassir menghimpun beberapa ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran para mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka itu tafsir bi al-ma’tsur maupun al-tafsir bi al-Ra’yi.
Jadi metode tafsir muqaran adalah menafsirkan sekelompok ayat Al-Qur’an dengan cara membandingkan ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadits, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan itu.
Kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara lain Durrah al-Tanzil wa Ghurrah al-Tanwil  karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an  karya al-Qurthubi yang membandingkan penafsiran para mufassir dan Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam  karya ‘Ali al-Shabuny.
Kelebihan metode Muqaran
·         Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.
·         Tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
·         Dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat-pendapat para mufassir yang lain.
Kekurangan metode muqaran
·         Penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat diberikan kepada para pemula.
·         Metode muqaran kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
·         Metode muqaran terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa itu tak perlu timbul bila mufassirnya kreatif.
4.         Metode tafsir maudhu’i
Metode tafsir maudhu’i juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhu’i, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.
Metode ini digunakan oleh beberapa kitab diantaranya al-mar’ah fi al-Qur’an dan al-Insan fi al-Qur’an al-Karim karya Abbas Mahmud al-Aqqad dan al-Riba fi al-Qur’an al-Karim karya Abu al-‘A’la al-Maududi.
Kelebihan metode maudhu’iy
·         Hasil tafsir maudhu’iy memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-Qur’an hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
·         Sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang, serta menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Qur’an.
·         Studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fasahat dan balaghah al-Qur’an.
·         Kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
·         Tafsir maudhu’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.
Kekurangan metode Maudhu’iy
·         Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
·         Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.

Jumat, 09 November 2012

Sang Maha Pembangkit


Al-Ba’its ( Sang Maha Pembangkit )
Kata yang terdiri dari ba’, ‘ain dan tsa’  memiliki beberapa makna

Kamis, 08 November 2012

Sang Maha Pemberi Rezeki


Kata Ar-Rozzaaq terambil dari akar kata rozaqo yarzuqu rozqon[1] fahuwa rooziqun, yang bermakna pemberi  rezeki.

Minggu, 04 November 2012

Definisi dan sejarah Ilmu Qiraat

A. Definisi Ilmu Qiraat
Menurut Imam al-Jazari ilmu qiraat adalah ilmu yang mempelajari tata cara pengucapan redaksi al-Quran dan perbedaannya dengan menyandarkan bacaan tersebut kepada para perawinya. Dari definisi tersebut dapat diambil beberapa pengertian:
a.      Fokus dan obyek ilmu ini adalah redaksi al-Quran, berbeda dengan tafsir yang lebih menitik beratkan pada bagaimana cara memahami maknanya.
b.      Ilmu ini adalah ilmu riwayat atau ilmu yang berdasarkan penukilan dari para ahli qiraat secara bersambung sampai kepada Nabi Muhammad saw dan bukan berdasarkan ijtihad.
B. Latar Belakang dan Sejarah Ilmu Qiraat
 Jauh sebelum al-Quran diturunkan bangsa arab terdiri dari beberapa macam kabilah. Secara garis besar mereka terdiri dari dua kelompok. Pertama, mereka yang berada di kawasan pedesaan atau baduwi yang selalu berpindah dari satu kawasan ke kawasan yang lain untuk mencari penghidupan. Kedua, mereka yang berada di perkotaan. Dua kelompok kabilah besar ini mempunyai dialek yang berbeda. Walaupun bahasa nasional mereka sama, yaitu bahasa arab yang akhirnya digunakan oleh al-Quran
Dalam kondisi seperti itulah al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menghadapi  hal ini, Nabi saw telah meminta keringanan dari Allah swt agar supaya Allah swt meringankan cara membaca al-Quran. Lalu turunlah hadits “al-Ahruf as-Sab’ah” yang terkenal itu:
إنّ هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما نيسر منه
“Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya”.[1]
Dengan berbekal peringanan ini Nabi mengajarkan al-Quran kepada para sahabatnya dengan berbagai macam versi tersebut. Ada beberapa kejadian yang menyangkut para sahabat yang saling menyalahkan bacaan yang lain. Akan tetapi, setelah dijelaskan oleh Nabi saw bahwa semua perbedaan bacaan itu berasal dari Allah swt lalu mereka memahaminya.
Qiraat atau macam-macam bacaan al-Quran itu telah mantap pada Rasulullah saw yang kemudian beliau ajarkan kepada para sahabat sebagaimana beliau menerima bacaan itu dari jibril as. Pada masa sahabat munculah banyak ahli baca al-Quran yang menjadi anutan masyarakat. Yang termasyhur dari mereka antara lain; Ubay bin Ka’b, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Masud, dan Abu Musa al-Asy’ari. Mereka itulah yang menjadi sumber bacaan al-Quran bagi sebagian besar sahabat dan tabi’in.
Kemudian pada masa tabi’in, segolongan masyarakat telah mengkhususkan diri dalam penentuan bacaan al-quran karena keadaan yang mendesak. Mereka menjadikan qiraat sebagai disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu syariat yang lain. Pada akhirnya mereka menjadi imam-imam qiraat yang dianut dan dirukuk banyak kalangan. Namun dalam perkembangannya, qiraat menghadapi masalah yang perlu ditangani serius sebagai akibat adanya hadis nabi yang menerangkan bahwa al-Quran diturunkan dengan beberapa wajah bacaan. Sehingga banyak bermunculan versi bacaan yang semuanya mengaku bersumber dari Rasulullah saw.
Pada akhir abad  kedua hijriah, para ulama ahli al-Quran mulai melakukan kegiatan penyeleksian dan menguji kebenaran qiraat yang diakui sebagai bacaan al-Quran. Pengujian tersebut dilakukan dengan memakai kaidah dan kriteria yang telah disepakati oleh ahli qiraat.
Suatu qiraat atau bacaan al-Quran baru dianggap sahih apabila memenuhi tiga persaratan, yaitu:
1)   Harus mempunyai sanad yang mutawatir, yakni bacaan itu diterima dari guru-guru yang dipercaya dan bersambung sampai kepada Rasulullah saw.
2)   Harus cocok dengan Rasm Utsmani
3)   Harus cocok dengan kaidah bahasa arab.
Dari penelitian dan pengujian yang dilakukan para pakar qiraat dengan menggunakan kaidah dan kriteria tersebut, diputuskan bahwa suatu qiraat bila ditinjau dari segi nilai sanad-nya akan terbagi menjadi enam tingkatan qiraat, yaitu:
1.      Mutawatir, yaitu qiraat yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang cukup banyak pada setiap tingkatan dari awal sampai akhir dan tersambung hingga Rasulullah saw.
2.      Masyhur, yaitu Qiraat yang mempunyai sanad yang shahih, tetapi jumlah perawinya tidak sebanyak Qiraat mutawatir.
3.      Ahad, yaitu Qiraat yang mempunyai sanad yang shahih tetapi tidak cocok dengan Rasm Usmani ataupun kaidah bahasa arab.
4.      Syadz, yaitu Qiraat yang tdak mempunyai sanad yang shahih atau pun tidak memenuhi tiga syarat sah untuk diterimanya qiraat.
5.      Mudraj, yaitu Qiraat yang disisipkan kedalam al-Quran.
6.      Maudlu’, yaitu Qiraat buatan yakni disandarkan kepada seseorang tanpa dasar, serta tidak mempunyai sanad ataupun rawi.
Dalam rangka memberi penghargaan kepada tujuh imam Qiraat dan untuk memudahkan ingatan, maka nama-nama mereka diabadikan sebagai nama suatu bacaan seperti Qiraat Nafi’, Qiraat Qolun dan sebagainya.
Ketujuh imam qiraat tersebut adalah:
1.      Di Madinah: Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim (w. 169 H).
2.      Di makkah: Imam Abdullah bin Kastir (w. 120 H).
3.      Di Bashrah: Imam Abu Amr bin al-‘Ala (w. 154 H).
4.      Di Syam: Imam Abdullah bin Amir (w. 118 H).
5.      Di Kufah: Imam ‘Ashim bin Abin Najud (w. 127 H).
6.      Di Kufah: Imam Hamzah bin Habib (w. 154 H).
7.      Di Kufah: Imam Ali al-Kisa’i (w. 189 H).
Ulama yang pertama kali menyusun ilmu Qiraat adalah para imam Qiraat. Namun sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali menyusun ini adalah Abu Umar Hafs bin Umar ad-Duri. Sedangkan yang membukukan pertama kali adalah Abu Ubaid al-Qosim bin Salam.
 Berangkat dari hal diatas, ilmu qiraat akhirnya mampu berkembang ke masyarakat. Perkembangan tersebut tak lepas dari perjuangan para ulama qiraat yang keilmuannya dapat dipertanggung jawabkan. Mereka itulah yang akhirnya dipilih sebagai ahli qiraat dan bacaannya terabadikan hingga saat ini melalui apa yang disebut dengan qiraaat sab’ah (qiraat tujuh) atau qiraat ‘asyr (qiraat sepuluh).
Keberadaan al-Quran dan ilmu qiraat dalam kenyataanya ternyata masih menimbulkan ikhtilaf di kalangan ulama. Sebagian ulama mempersamakan antara al-Quran dan Qiraat, karena qiraat yang telah diterima bacaanya adalah al-Quran juga. Namun, sebagian ulama lain berpendapat bahwa al-Quran dan Qiraat ada perbedaan. Al- Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sementara Qiraat adalah perbedaan redaksi dan cara membacanya.


[1] HR. Bukhari dan Muslim