Minggu, 24 Juni 2018

Pengalaman Paling Membahagiakan dan Mengharukan Dalam Hidup


            Menulis tentang pengalaman pribadi, terasa sulit bagiku. Saya bukanlah orang yang penuh dengan pengalaman hidup. Meski diri ini sudah menghirup udara selama seperempat abad, pengalaman yang didapat sejatinya tidak patut untuk
dijadikan pelajaran yang menginspirasi banyak orang. Namun untuk memenuhi tuntutan persyaratan satu halaman penuh dan keinginan kuat untuk belajar menulis, saya usahakan jari jemari ini menuliskan apa yang telah saya lalui.
            Bahagia dan haru merupakan dua hal yang bisa bersatu. Keduanya bertemu ketika emosi berada dalam puncaknya. Emosi seakan-akan diaduk hingga akhirnya mencucurkan air mata kebahagian.
Bagi saya bahagia adalah saat melihat bapak ibu tersenyum yang menyimpulkan kebahagian mereka. Namun kebahagiaan mereka yang diselimuti rasa haru itu muncul saat diriku menyelesaikan bacaan 30 juz sebagai pertanda diri yang hina ini -insya Allah- diizinkan mempersembahkan mahkota bagi mereka berdua di hari kelak. Saat itu bapak merangkulku, nangis tersedu-sedu. Tangis yang tak pernah aku rasakan dan saksikan semasa hidupku. Rasa bahagia bercampur aduk dengan rasa haru ada di situ. Hingga aku pun tak kuasa ikut meneteskan air mata haru bahagia. Mungkin ini pengalaman paling membahagiakan bagiku yang tidak mungkin diputar kembali di masa depanku. Saya berharap tangis bahagianya itu kembali saksikan kusaksikan kelak di surga-Nya, amin.
Sejatinya saya masih belum percaya dengan amanah Allah swt untuk menjadi penjaga al-Quran. Mengingat jauh sebelum ini saat masih duduk di kelas akhir Sekolah Dasar di bawah kepemilikan salah satu Pesantren terbesar di Banyuwangi, saya adalah satu siswa yang ndableg. Ke-ndableg-an saya hingga menggiring saya tidak pintar baca al-Quran. Tercatat mayoritas teman sekelas sudah berada pada level al-Quran di Taman Pendidikan al-Quran. Apalagi mereka yang dikarantina di Pondok Kanak-Kanak. Saya waktu itu masih berada di jilid 4 qiraati dan tidak naik-naik hingga beberapa bulan. Hingga berujung pada ‘pe-mutung-an’ berhenti untuk tidak ber-TPQ lagi.   
Akibat ulah ke-ndableg-an dan ke­-dedel-an saya, saya sempat melarikan diri dari tes baca al-Quran di kelas 6 SD. Saya sengaja izin ke toilet (lebih tepatnya sungai karena keterbatasan fasilitas kala itu) untuk menghindari panggilan guru untuk membaca al-Quran. Tentu kenakalan saya berangkat dari rasa gengsi dan malu di depan teman sekelas –khususnya yang cewek-cewek- jika Ali tidak pintar baca al-Quran. Saya izin keluar kelas tidak sendiri, ditemani kawan yang cukup sedengan juga. Saat saya acting buang air besar di pinggiran sungai, kawan saya yang satu ini berkeliling di kebun seberang sungai ‘mengambil’ kelapa secara illegal. Sialnya ada seorang yang memergokinya yang tak lain adalah isteri dari salah seorang guru SD kami. Singkat cerita saya pun merasa aman dari tes baca al-Quran. Namun ternyata saat jam pelajaran usai istirahat saya dan kawan tadi tidak bisa sembunyi dan berkelit dari pak Guru –suami yang memergoki kami-. Akhirnya kami harus rela mendapatkan hukuman dari sekolah akibat ulah kenakalan kami. Beberapa tahun setelah saya tinggal di Pesantren, saya berkesimpulan barangkali itu yang dinamakan kualat dengan al-Quran. Naʻudzu billah min Dzalik jangan sampai terulang lagi. Dari cerita ini, sampai saat ini saya masih heran dengan kehendak Allah swt menitipkan amanat yang cukup berat ini. Namun tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Semoga saya diberi kekuatan dan keistikamahan dalam menjaga amanahnya. Amin. []   

  

Tidak ada komentar: