Menulis tentang
pengalaman pribadi, terasa sulit bagiku. Saya bukanlah orang yang penuh dengan pengalaman
hidup. Meski diri ini sudah menghirup udara selama seperempat abad, pengalaman
yang didapat sejatinya tidak patut untuk
dijadikan pelajaran yang menginspirasi banyak orang. Namun untuk memenuhi tuntutan persyaratan satu halaman penuh dan keinginan kuat untuk belajar menulis, saya usahakan jari jemari ini menuliskan apa yang telah saya lalui.
dijadikan pelajaran yang menginspirasi banyak orang. Namun untuk memenuhi tuntutan persyaratan satu halaman penuh dan keinginan kuat untuk belajar menulis, saya usahakan jari jemari ini menuliskan apa yang telah saya lalui.
Bahagia dan haru merupakan
dua hal yang bisa bersatu. Keduanya bertemu ketika emosi berada dalam
puncaknya. Emosi seakan-akan diaduk hingga akhirnya mencucurkan air mata
kebahagian.
Bagi saya bahagia adalah saat melihat bapak ibu tersenyum yang
menyimpulkan kebahagian mereka. Namun kebahagiaan mereka yang diselimuti rasa
haru itu muncul saat diriku menyelesaikan bacaan 30 juz sebagai pertanda diri
yang hina ini -insya Allah- diizinkan mempersembahkan mahkota bagi mereka
berdua di hari kelak. Saat itu bapak merangkulku, nangis tersedu-sedu. Tangis
yang tak pernah aku rasakan dan saksikan semasa hidupku. Rasa bahagia bercampur
aduk dengan rasa haru ada di situ. Hingga aku pun tak kuasa ikut meneteskan air
mata haru bahagia. Mungkin ini pengalaman paling membahagiakan bagiku yang
tidak mungkin diputar kembali di masa depanku. Saya berharap tangis bahagianya
itu kembali saksikan kusaksikan kelak di surga-Nya, amin.
Sejatinya saya masih belum percaya dengan amanah Allah swt untuk
menjadi penjaga al-Quran. Mengingat jauh sebelum ini saat masih duduk di kelas akhir
Sekolah Dasar di bawah kepemilikan salah satu Pesantren terbesar di Banyuwangi,
saya adalah satu siswa yang ndableg. Ke-ndableg-an saya hingga
menggiring saya tidak pintar baca al-Quran. Tercatat mayoritas teman sekelas sudah
berada pada level al-Quran di Taman Pendidikan al-Quran. Apalagi mereka yang dikarantina
di Pondok Kanak-Kanak. Saya waktu itu masih berada di jilid 4 qiraati
dan tidak naik-naik hingga beberapa bulan. Hingga berujung pada ‘pe-mutung-an’
berhenti untuk tidak ber-TPQ lagi.
Akibat ulah ke-ndableg-an dan ke-dedel-an saya, saya
sempat melarikan diri dari tes baca al-Quran di kelas 6 SD. Saya sengaja izin ke
toilet (lebih tepatnya sungai karena keterbatasan fasilitas kala itu) untuk
menghindari panggilan guru untuk membaca al-Quran. Tentu kenakalan saya
berangkat dari rasa gengsi dan malu di depan teman sekelas –khususnya yang
cewek-cewek- jika Ali tidak pintar baca al-Quran. Saya izin keluar kelas tidak
sendiri, ditemani kawan yang cukup sedengan juga. Saat saya acting buang
air besar di pinggiran sungai, kawan saya yang satu ini berkeliling di kebun seberang
sungai ‘mengambil’ kelapa secara illegal. Sialnya ada seorang yang memergokinya
yang tak lain adalah isteri dari salah seorang guru SD kami. Singkat cerita saya
pun merasa aman dari tes baca al-Quran. Namun ternyata saat jam pelajaran usai
istirahat saya dan kawan tadi tidak bisa sembunyi dan berkelit dari pak Guru
–suami yang memergoki kami-. Akhirnya kami harus rela mendapatkan hukuman dari
sekolah akibat ulah kenakalan kami. Beberapa tahun setelah saya tinggal di
Pesantren, saya berkesimpulan barangkali itu yang dinamakan kualat dengan
al-Quran. Naʻudzu
billah min Dzalik jangan sampai
terulang lagi. Dari cerita ini, sampai saat ini saya masih heran dengan kehendak
Allah swt menitipkan amanat yang cukup berat ini. Namun tidak ada yang tidak
mungkin bagi-Nya. Semoga saya diberi kekuatan dan keistikamahan dalam menjaga
amanahnya. Amin. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar