BAB I
PENDAHULUAN
I..
Latar Belakang
Berbicara
tentang matan hadits, kita akan menemukan banyak sekali ragam perbedaan isi
suatu matan dengan yang lain. Meskipun secara esensi matan itu sama dan tidak
ada penambahan dalam matan yang terlalu berseberangan dengan esensi tersebut.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita mengkaji apa penyebab perbedaan matan
ditinjau dari sisi matan dan sanadnya. Patut diketahui bahwa perbedaan matan
bukan hal yang aneh dalam ilmu hadits. Karena perbedaan itu berasal dari
pemindahan suatu teks dari perawi satu ke perawi yang lain. Dan hal ini
menuntut kapabilitas memori seseorang perawi. Perawi sebagai pembawa sekaligus
pemindah matan hadits memang memilki keterbatasan dalam menjaganya, boleh jadi
ia kurang teliti atau teledor dalam periwayatan, lebih-lebih yang diriwayatkan
adalah sebuah perkataan manusia paling mulia. Yang tidak menutup kemungkinan di
dalamnya terdapat perbedaan yang banyak. Hal ini senada dengan firman Allah
swt;
أَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ القُرْءَانَ 4 وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ
لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا ÇÑËÈ
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al
Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.(QS.
Al-Nisa ; 82)
I.2.
Rumusan Masalah
Dalam makalah
ini akan membahas sebab-sebab perbedaan matan hadits. Perbedaan redaksi hadits disebabkan
dari dua jalur. Yang pertama dari redaksi matan itu sendiri dan yang kedua dari
jalur sanad.
Pembahasan
masalah ini akan dimulai dari definisi sanad dan matan. Pengertian keduanya
memang patut dipahami, terutama sebelum membahas sebab-sebab perbedaan matan
yang ditinjau dari dua sisi, yaitu matan dan hadits. Perbedaan matan hadits
yang dimaksud dalam pembahasan ini hanya tertuju pada beberapa
matan yang
berbeda tetapi esensinya sama. Hal ini didasari oleh kurangnya kapabilitas dan
kapasitas seorang perawi matan tersebut.
Kemudian
akan dilanjutkan dengan menjelaskan sebab-sebab perbedaan matan ditinjau dari
matan dan selanjutnya dari sudut pandang sanad.
I.3. Tujuan
Tulisan ini
bertujuan untuk mengantar penelaah hadits dalam memahami perbedaan matan hadits
dan penyebabnya secara umum. Yang dikemudiannya, penelaah hadits diharap mampu
memilah dan memilih matan hadits yang dapat dipertanggungjawabkan secara
kapasitas dan keotentikannya. Diharapkan juga agar para penelaah bisa
mengetahui hadits secara komperhensif dalam satu tema dan esensi. Sehingga bisa
menyangkutkan hadits satu dengan yang lain dalam segi pemaknaan kata-kata yang
sulit dipaham.
BAB II
PEMBAHASAN
SEBAB-SEBAB PERBEDAAN MATAN HADITS DITINJAU DARI SEGI MATAN DAN
SANAD
Dalam kamus
besar Bahasa Indonesia, kata 'sebab' berarti hal yg menjadikan timbulnya
sesuatu atau asal mula dari sesuatu. Jadi bisa dikatakan, sebab merupakan asal
mula dari munculnya sesuatu. Setiap sebab pasti memilki akibat, sebagaimana
kita ketahui hal ini dengan istilah hukum kausalitas. Dalam hal ini bisa
dipahami, bahwa perbedaan matan adalah suatu akibat dari adanya penyebab. Dan
penyebab itu akan diulas dalam makalah ini dilihat dari sudut pandang matan dan
sanad.
II.1.
Pengertian matan dan sanad
a)
Matan
Matan dalam segi bahasa berarti sesuatu yang keras dan tinggi. Sedangkan
dari segi istilah, Al-Thibi mengartikan dengan teks hadits yang memuat makna
dari ucapan Nabi saw.[1]
Sudut pandang matan dalam bahasan kali ini hanya terbatas pada hadits-hadits
masih dalam satu esensi pembahasan akan tetapi berbeda dalam redaksi matan.
b)
Sanad
Arti etimologi sanad yaitu sesuatu yang kokoh dan kuat. Dinamakan
demikian karena hadits akan menjadi kuat karena adanya sanad yang kuat pula.[2]
Dalam segi terminologi adalah jalan periwayatan matan hadits dari periwayat
sampai Nabi saw.[3]
Al-Tahanuwi mendefinisikannya dengan daftar nama perawi hadits secara berurutan[4].
Sudut pandang sanad pada pembahasan ini hanya terfokus pada perbedaan matan hadits yang ditimbulkan dari perbedaan
sanad.
Pada prinsipnya dua sudut pandang ini, matan dan sanad adalah satu
kesatuan. Karena antara keduanya saling melengkapi dan berkaitan. Jadi tidaklah
heran jika penyebab perbedaan redaksi hadits dari sudut pandang matan ada yang
sama dengan sudut pandang sanad. Tapi perlu diketahui bahwa matan dan sanad
memilki ranah pembahasan masing-masing.
II.2.
Sebab - sebab perbedaan matan dari segi matan
1)
al-Riwayah
Bi al-Ma'na
Terjadi perdebatan menarik tentang boleh dan tidaknya periwayatan
secara makna tersirat dari suatu hadits. Memang adanya silang pendapat ini
tidak menghalangi kemurnian hadits yang datang dari Nabi saw. Hal ini
dikarenakan pendapat mayoritas Ulama memperbolehkan periwayatan semacam ini
dengan beberapa syarat dan kriteria. Adanya syarat dan kriteria ini mengindikasikan
bahwa tidak semua orang bisa meriwayatkan hadits secara makna. Pendapat
Mayoritas Ulama yang memperbolehkan al-Riwayah Bi al-Ma'na ini terkesan
berhati-hati dengan adanya syarat-syarat tertentu, yaitu;
ü Yang meriwayatkan harus orang yang benar-benar menguasai dan
ahli di bidang hadits dengan mengetahui lafadz, arti, makna, dan tujuan
kandungan hadits[5]
ü Yang diriwayatkan secara makna bukan hadits yang sudah dibukukan,
bahkan ada pendapat yang mengatakan hanya sebelum masa kodifikasi
ü Yang diriwayatkan bukan termasuk hal yang ta'abbudi
ü Yang diriwayatkan bukan termasuk hadits jawami'ul kalim
ü Perawi secara makna seharusnya mencantumkan redaksi au kama qala,
sebagaimana perkataan Nabi saw
ü Hanya diperbolehkan bagi perawi yang lupa lafadznya atau kesulitan
untuk meriwayatkannya sesuai redaksi asli sehingga terpaksa meriwayatkan secara
makna
ü Periwayatan tidak sampai bertolak belakang dengan sumber syari'at,
dengan menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
ü Meriwayatkan dengan sinonimnya[6]
Mereka berkata tentang periwayatan hadits secara makna
Ibnu Rajab berkata; "Perbedaan lafadz dalam periwayatan
menunjukkan bahwa para perawi meriwayatkan hadits dengan makna dan mereka tidak
terpaku pada teksnya saja. Jika ada dua lafadz hadits yang berbeda, yang satu
jelas maknanya dan yang lain kurang jelas, maka mereka menafsiri lafadz hadits
yang tidak jelas itu dengan yang jelas dikarenakan kedua hadits itu satu esensi
dan makna".[7]
Abdul Haq al-Isybili berkata; "Perbedaan teks tidak mencederai
hadits selagi masih satu konteks".
Ibnu Hazm berkata ; " Perbedaan lafadz dalam periwayatan
hadits bukanlah suatu aib selagi masih satu makna. Karena terkadang Nabi saw
mengucapkan suatu kata dengan diulang tiga kali, sedang para Sahabat ra
meriwayatkannya sesuai dengan apa yang mereka dengar. Sekali lagi perbedaan ini
tidak mengurangi nilai kemurnian hadits dengan catatan masih satu esensi".
Ibnu Siriin berkata : " Aku telah mendengarkan hadits dari
sepuluh perawi, semuanya satu makna dan lafadznya berbeda-beda"
Dalam al-Quran banyak suatu kisah yang diceritakan dengan berbagai
macam redaksi. Misalnya di surat "A" diceritakan secara ringkas,
tetapi di surat "B" diceritakan panjang lebar. Redaksi di surat
"A" dan "B" juga berbeda, akan tetapi keduanya masih satu
makna dan esensi. Maka hal yang demikian tidak bisa dihindari dalam hadits
Nabawi[8].
Bahkan ada suatu hadits yang melegalkan periwayatan hadits secara
makna, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Ukaimah al-Laitsi; Aku sowan
kepada Nabi saw kemudian aku mengadu kepada beliau, "Wahai
Rasulullah, aku telah mendengarkan hadits dari anda akan tetapi aku tidak mampu
meriwayatkan sesuai yang aku dengar ?"
فَقَالَ:"إِذَا لَمْ تُحِلُّوا حَرَامًا، وَلَمْ
تُحَرِّمُوا حَلالا، وَأَصَبْتُمُ الْمَعْنَى , فَلا بَأْسَ"[9]
Nabi saw bersabda : Jika kalian tidak
menghalalkan yang haram serta tidak mengharamkan yang halal dan kalian
riwayatkan sesuai dengan makna, maka hal itu tidak masalah
Contoh periwatan hadits secara makna;
o ((صم من كل عشرة يوماً ))
Berpuasalah
sehari untuk sepuluh (hari)
o ((صم من كل شهر ثلاثة أيام؛ فإن الحسنة بعشرة أمثالها ))
Berpuasalah
tiga hari tiap satu bulan, Satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh
Berpuasalah
sehari maka engkau mendapatkan pahala hari-hari yang lain
Ketiga riwayat di atas merupakan dampak dari periwayatan secara
makna[11].
Kalaupun kita teliti semua, maka tidak ada makna yang bersebrangan. Esensinya
yaitu suatu anjuran untuk berpuasa tiga hari dalam sebulan.
2)
Meringkas
dan menyederhanakan matan Hadits
Ibnu Hajar al-'Atsqalani mengatakan bahwa mayoritas ulama
memperbolehkan peringkasan hadits dengan beberapa syarat[12]
;
ü Yang meringkas harus orang yang benar-benar menguasai dan
ahli di bidang hadits dengan mengetahui arti dan makna kandungan hadits
ü Tidak membuang sebagian matan yang masih berkaitan dengan ringkasan,
seperti membuang kalimat istitsna' (pengecualian), syarat atau jawab, ghayah
( penghinggaan ) ataupun yang lain.
ü Tidak menghilangkan esensi dan inti dari hadits itu sendiri
ü Ringkasan hadits sudah mewakili dari matan yang dibuang.
ü Yang meringkas bukan seorang perawi hadits yang bersangkutan
ü Jika yang meriwayatkan perawi hadits tersebut maka disyaratkan ia
harus meriwayatkan hadits secara sempurna dan utuh sebelumnya
Contoh ringkasan hadits;
((ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة ))
Hadits
diatas merupakan potongan dari hadits berikut;
عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (( من نفس
عن مؤمن كربة ن كرب الدنيا نفس الله عنه كربة من كرب يوم القيامة ، ومن يسر على معسر
يسر الله عليه في الدنيا والآخرة . ومن ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة ، والله
في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه . ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له
به طريقا إلى الجنة ، وما اجتمع
قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم
إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة ، وحفتهم الملائكة ، وذكرهم الله فيمن عنده
، ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه )) رواه مسلم بهذا اللفظ.[13]
Barangsiapa yang menghilangkan kesusahan orang mukmin, Allah akan
menghilangkan kesusahannya di akhirat. Orang yang mempermudah bagi orang yang
tertimpa kesulitan, urusannya akan dimudahkan oleh Allah di dunia dan akhirat.
Orang yang yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutup aibnya di dunia
dan akhirat. Allah senantiasa menolong hambanya selagi hambanya mau menolong
sesamanya. Barangsiapa yang menempuh jalan mencari ilmu, maka Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.Tidaklah sekelompok orang berkumpul
di suatu masjid untuk membaca al-Quran dan mempelajarinya melainkan ketenangan
dan rahmat menyelimuti mereka.Malaikatpun juga mengelilingi mereka. Allah swt
akan mengingat mereka. Seseorang yang lamban dalam beramal baik, ia juga akan
lamban mendapat kemulyaan.
Contoh
lain;
(( إن الحلال بين ، وإن الحرام
بين ، وبينهما أمور مشتبهات ))
Hadits diatas
adalah ringkasan dari hadits dibawah ini;
(( إن الحلال بين ، وإن الحرام بين ، وبينهما أمور مشتبهات لا يعلمهن
كثير من الناس ، فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه ، ومن وقع في الشبهات وقع
في الحرام ، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع
فيه ألا وإن لكل ملك حمى ، ألا وإن حمى الله محارمه ، ألا وإن في الجسد
مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب )) . رواه البخاري
و مسلم[14]
Yang halal dan yang haram sudah jelas, diantara keduanya adalah
sesuatu yang syubhat.
Banyak sekali orang yang tidak mengetahuinya. Orang yang menjauhi syubhat itu
telah mensucikan agama dan kehormatannya. Sedangkan orang yang jatuh dalam
sesuatu yang syubhat, ia akan jatuh dalam sesuatu yang haram. Laksana sesorang
yang menggembala di sekitar area terlarang.Ia dikhawatirkan merumput di
dalamnya. Setiap area terlarang pasti ada yang memiliki. Area terlarang Allah
swt ialah larangan-larangannya. Ketahuilah, bahwa di dalam tubuh ada segumpal
daging. Jika segumpal daging itu baik maka seluruh tubuh akan menjadi baik.
Jika tidak, maka akan rusak seluruh tubuh. Ketahuilah, bahwa hal itu adalah
hati.
3)
Idraj ( penyelipan dalam hadits )
Idraj ialah penyelipan dalam matan atau sanad oleh perawi dari kalangan
sahabat atau yang lain, sehingga perawi lain menyangka selipan itu dari matan
atau sanad[15].
Dan disyaratkan tanpa adanya penjelasan bahwa penyelipan itu bukan termasuk
hadits[16].
Penyelipan dalam hadits ini akan membuat pengkaburan bagi pemula pengkaji
hadits, yang mana mereka akan mengira kata selipan itu juga dari Nabi saw[17]. Hadits yang terdapat idraj di dalamnya
dinamakan hadits mudraj. Penyelipan ini terlaku pada matan dan juga
sanad. Idraj pada matan dibagi menjadi tiga;
a.
Idraj pada awal matan
Contoh
idraj pada awal matan;
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Khatib, dari Abi Qathan dan
Syababah, keduanya dari Syu'bah, dari Muhammad ibn Ziyad, dari Abi Hurairah
berkata; Rasulullah saw bersabda;
(( أسبغوا الوضوء, ويل للأعقاب من النار ))
Sempurnakanlah wudlhu,Celaka dan neraka bagi orang yang tidak
berhati-hati dalam membasuh tumit dalam berwudlhu
Redaksi (( أسبغوا الوضوء)) termasuk ucapan Abi Hurairah, hal ini bisa dibedakan dengan
riwayat al-Bukhari dari Adam, dari Syu'bah, dari Muhammad ibn Ziyad, dari Abi
Hurairah berkata;
(( أسبغوا الوضوء)) فإنّ إبا القاسم صلى الله عليه وسلم قال :
((ويل للأعقاب من النار ))[18].
Riwayat Adam tidak termasuk mudraj karena telah dipisahkan antara
penyelipan Abu Hurairah dan ucapan Nabi saw. Al-Khatib mengomentari bahwa
Riwayat Abi Qathan dan Syababah terjadi pengkaburan, sedangkan banyak sekali
perawi yang meriwayatkan seperti riwayat Adam[19].
Penyelipan pada awal matan sangat langka sekali terjadi. Bahkan Ibnu Hajar
mengatakan bahwa tidak ada hadits mudraj pada awal matan kecuali contoh diatas
dan hadits riwayat Busrah binti Shafwan[20].
b.
Idraj pada tengah matan
Bagian ini paling sering terjadi. Contoh penyelipan hadits di
tengah matan yaitu hadits yang diriwayatkan oleh 'Aisyah ra mengenai awal
turunnya wahyu:
(( كان النبي صلى الله عليه
وسلم يتحنّث في غار حراء - وهو التعبد- الليالي ذوات العدد[21]
))
Nabi
saw beribadah di Gua Hira' pada beberapa malam
c.
Idraj pada akhir matan
Jumlah penyelipan dalam bagian ini jumlahnya hanya sedikit. Contoh
pada bagian akhir yaitu hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah :
(( للعبد المملوك الصالح
أجران , والذي نفسي بيده لو لا الجهاد في سبيل الله والحجّ وبرّ أمّي لأحببت أن
أموت وأنا مملوك[23]
))
Seorang budak shaleh mendapatkan dua pahala, Demi Allah swt kalau
bukan karena jihad di jalan Allah swt, haji, dan berbakti kepada orang tua, aku
lebih ingin mati dalam keadaan menjadi budak.
Redaksi ((والذي
نفسي بيده ... إلخ )) merupakan suatu ucapan Abu Hurairah, karena
ucapan itu mustahil datang dari Nabi saw. Suatu hal yang tidak mungkin, Nabi
saw mengharap untuk menjadi seorang budak. Juga dikarenakan ibunda Nabi saw
meninggal dunia ketika beliau masih kecil sehingga tidak bisa berbakti kepadanya[24].
4)
Al-
Qolb fi al-Matan
Sebab Al- Qolb fi al-Matan ini terlaku pada hadits maqlub.
Pengertian hadits maqlub ialah perubahan dalam matan atau sanad hadits,
adakalanya dengan terbalik lafadz yang seharusnya diawal diletakkan diakhir
atau sebaliknya.[25]
Hadits ini dibagi menjadi dua; maqlub dalam matan dan maqlub
dalam sanad.
Contoh hadits maqlub; Hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah dalam hadits yang menerangkan tujuh
golongan yang mendapat naungan Allah swt pada hari kiamat, yaitu pada redaksi;
…
Dan seseorang yang menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kanannya tidak
tahu apa yang telah disedekahkan tangan kirinya .…
Redaksi ini terbalik karena salah satu perawi lupa dan kurang
teliti dalam meriwayatkannya, redaksi yang sesungguhnya yaitu ;
Sebab-sebab perawi membalik matan dan sanad yaitu;
ü bertujuan untuk membuat hadits itu menjadi gharib, sehingga banyak
yang ingin meriwayatkannya
ü bertujuan untuk menguji kualitas hafalan seorang muhadits
ü karena murni kesalahan dan kurang ketelitian yang tanpa disengaja[28].
5)
Idhtirab
Hadits yang terdapat idhtirab dinamakan hadits mudhtarib.
Definisinya yaitu Satu hadits yang berbeda-beda cara periwayatannya, satu
perawi meriwayatkannya dengan cara/lafadz "A" dan yang lain dengan
cara/lafadz "B". Tetapi sebenarnya hadits itu bisa dikatakan
Mudhtarib jika riwayatnya sama dan keduanya tidak bisa ditarjih.[29]
Perlu digaris bawahi bahwa Hadits Mudhtarib ini bisa terjadi pada
satu perawi saja dan juga banyak perawi.[30]
Contoh idhtarib matan;
Hadits yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, dari Syarik, dari Abu
Hamzah, dari al-Sya'bi, dari Fathimah binti Qais ra. berkata; Rasulullah saw
ditanya tentang zakat, beliau saw menjawab;
(( إنّ في المال لحقّا سوى الزكاة [31]))
Sesungguhnya
ada hak dalam selain zakat
Sedangkan hadits pada riwayat Ibnu majah dengan redaksi berikut;
(( ليس في المال حق سوى
الزكاة [32]))
Tidak ada hak dalam harta selain zakat
Dua hadits diatas sebenarnya satu riwayat yang sama yaitu melalui Syarik,
dari Abu Hamzah, dari al-Sya'bi, dari Fathimah binti Qais ra. Dan kedua hadits
ini tidak bisa ditarjih. Hadits yang mengandung idhtirab
divonis sebagai hadits dha'if dan tidak boleh diamalkan.[33]
6)
Ziyadat
al-Tsiqat
penyebab yang keempat ialah penambahan redaksi hadits oleh perawi
yang tsiqah adil dibanding hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah
yang lain.
contoh ziyadat al-tsiqat;
hadits yang diriwayatkan Sa'd ibn Thariq dari Rib'I ibn Hirasy dari
Hudzaifah berkata; Rasulullah saw bersabda;
(( جعلت صفوفنا كصفوف الملائكة, وجعلت لنا الأرض مسجدا, وجعلت
تربتها لنا طهورا إذا لم نجد الماء إلخ.. ))
Barisan kita disamakan dengan barisan malaikat, Seluruh muka bumi
dijadikan tempat shalat bagi kita, dan debunya dijadikan alat bersuci jika kita
tidak mendapatkan air
Redaksi " وجعلت تربتها لنا طهورا" termasuk ziyadat al-Tsiqat, karena yang
meriwayatkan seperti contoh diatas hanya Sa'd ibn Thariq. Sedangkan perawi yang
lain hanya meriwayatkan dengan redaksi " وجعلت لنا الأرض مسجدا و طهورا "
Contoh yang lain;
Hadits yang diriwayatkan oleh Utsman ibn Umar, dari Malik ibn
Mughwil, dari al-Walid ibn al-'Aizar, dari Abi 'Amr al-Syaibani, dari Abdillah
ibn Mas'ud berkata;
أي العمل أفضل ؟ قال)) الصلاة في أول وقتها )). قلت: ثمّ أيّ ؟ قال: (( الجهاد في سبيل
الله )). قلت: ثمّ أيّ ؟ قال: (( برّ الوالدين )).
Amal apa yang afdhal? Nabi saw menjawab, (( Shalat pada awal waktu
)) Ku bertanya lagi, kemudian apa lagi? Beliau menjawab, ((Jihad di jalan Allah
swt)). Ku bertanya lagi kemudian apa lagi? Beliau saw menjawab (( Berbakti
kepada kedua orang tua ))
Kata " في أول وقتها " termasuk ziyadat al-tsiqat, karena redaksi tersebut
hanya diriwayatkan oleh Utsman ibn Umar. Sedangkan perawi yang lain
meriwayatkan dari Malik ibn Mughwil dengan redaksi " لوقتها"[34]
II.3.
Sebab – sebab perbedaan matan dari segi sanad
1)
Idraj ( penyelipan dalam hadits )
Penjelasan idraj sudah diterangkan diatas. Hanya saja pada bagian
ini termasuk idraj dalam sanad sehingga menjadikan perbedaan dalam matan.
Contoh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Maryam;
(( لا تباغضوا ولا تحاسدوا ولا تدابروا
ولاتنافسوا ))
Redaksi ولاتنافسوا )) )) merupakan selipan
dari Ibnu Abi Maryam, sebab redaksi ولاتنافسوا )) )) merupakan redaksi
dari sanad yang berbeda. Hal ini bisa dibandingkan dengan riwayat selain Ibnu
Abu Maryam yang tidak menyebutkan redaksi ولاتنافسوا )) )).
2)
Al- Qolb fi al-Matan
3)
Idhtirab
4)
Ziyadat al-Tsiqat
Pada tiga penyebab
terakhir, penjelasan dan contoh sudah tercover dalam pembahasan penyebab perbedaan dari sudut
pandang matan.
BAB III
PENUTUP
Dari dua sudut pandang, yakni matan dan sanad, penyebab perbedaan matan
hadits sebatas pengetahuan pemakalah hanya berkisar pada enam sebab.
Sebab-sebab itu adalah periwayatan secara makna, penyederhanaan hadits,
penyisipan (idraj), pembalikkan (qalb), idlhtirab,
penambahan oleh perawi tsiqat. Secara prinsip perbedaan matan timbul
dari periwayatan secara makna. Akan tetapi setelah berkembangnya zaman
bertambah pula sebab-sebab itu. Mulai dari penyederhanaan hadits sampai
tambahan perawi tsiqat. Tiga dari enam sebab diatas merupakan adanya
cacat pada perawi. Ketiga sebab itu adalah penyisipan (idraj),
pembalikkan (qalb), dan idlhtirab. Dengan sebab-sebab diatas maka
dapat diketahui perbedaan matan suatu hadits. Karena mengetahui penyebab akan
memudahkan dalam memahami suatu akibat.
Terakhir hemat penulis, bahwa
perbedaan matan bukan suatu masalah selagi makna dari hadits tidak berubah.
Tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Penulis
sangat senang dan berterima kasih jikalau ada pembaca yang bersedia untuk
mengkoreksi ataupun memberi saran dan masukan. Motivasi yang membangun juga
sangat diharapkan agar nantinya penulis dapat memperbaiki
keseluruhannya.Demikian dari penulis, kekurangan milik kami dan kesempurnaan
milik Allah swt semata.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al- Karim
Abdul al-Rahman Muhammad al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits
an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr
al-'Arabi)
Abdullah Sirajuddin, Syarh al-Mandzhumah al-Bayquniyah
(Alleppo : Dar al-Falah, 1951)
Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Fi Syarh
Taqrib al-Nawawi (Riyadh : Maktabah al-Riyadlh al-Haditsah,tt)
Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H)
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt)
Abu Zakaria Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, Al-'Arba'in al-Nawawiyah
(ttp: tp, tt )
Ahmad ibn Hajar al-'Atsqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih
al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma'rifah,
1379 H)
Ahmad ibn Umar Bazamul, al-Muqtarib fi bayan al-Mudhtarib
(ttp: tp, tt) / www.almeshkat.net
Al- Thabrani, al-Mu'jam al-Kabir ( ttp:tp, tt)
Al-Hafidzh Ibnu Hajar al-'Atsqalani, Nuzhah al-Nadzhar Fi
Taudlhi Nukhbah al-Fikr Fi Mushthalah Ahl al-Atsar (ttp: tp, tt)
Dzafar Ahmad al-Tahanuwi, Qawa'id al-Ulum al-Hadits (ttp :
tp, tt)
Ibnu Katsir, Al-Ba'its al-Hatsits Fi Ikhtishar Ulum al-Hadits (
ttp: tp, tt )
Ibnu Rajab, Fath al-Bari ( ttp: tp, tt)
Ibnu Shalah Utsman ibn Abdirahman, Muqaddimah Ibn al-Shalah
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986)
Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah :
al-Haramain, 1985)
Mahmud Rasyad Khalifah, Ulum al-Hadits (Cairo : Dar
al-Manar, 2004)
Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah
al-Mailk al-Fahd, 2000)
Muhammad al-Sakhawi, Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits
(Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1980)
Muhammad ibn 'Isa al-Tirmidzi, Sunan
al-Tirmidzi ( Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, tt)
Muhammad ibn Yazid al-Qazwaini,
Sunan Ibnu Majah ( Beirut: Dar al-Fikr, tt)
Syihabuddin dan Hasan Bashari, Mabadi
'ulum al-hadits (Jakarta :Fakultas Dirasat islamiyah UIN, 2008)
[1]Abdul al-Rahman Muhammad
al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr
al-'Arabi) hal. 17
[3]Syihabuddin dan Hasan
Bashari, Mabadi 'ulum al-hadits (Jakarta :Fakultas Dirasat islamiyah
UIN, 2008) hal. 14
[6] Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi
Fi Syarh Taqrib al-Nawawi (ttp: tp, tt ) hal. 7 s/d 9 Jld. 2
[8]Ahmad ibn Umar Bazamul, al-Muqtarib
fi bayan al-Mudhtarib (ttp: tp, tt) hal. 108/ www.almeshkat.net
[10]Ahmad ibn Hajar
al-'Atsqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1379 H) hal. 219
[11]Ahmad ibn Umar Bazamul, al-Muqtarib
fi bayan al-Mudhtarib (ttp: tp, tt) hal. 107/ www.almeshkat.net
[12]Al-Hafidzh Ibnu Hajar
al-'Atsqalani, Nuzhah al-Nadzhar Fi Taudlhi Nukhbah al-Fikr Fi Mushthalah
Ahl al-Atsar (ttp: tp, tt) hal. 24
[14] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari (ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) hal. 56.
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih
Muslim (Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 50
[16] Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif
(Madinah : Maktabah al-Mailk al-Fahd, 2000) hal.133
[17]Abdul al-Rahman Muhammad
al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr
al-'Arabi) hal.
[19] Abdurrahman al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Fi Syarh
Taqrib al-Nawawi (Riyadh : Maktabah al-Riyadlh al-Haditsah,tt) hal. 270
[20] Muhammad al-Sakhawi, Fath al-Mughits Syarh Alfiyah
al-Hadits (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1980) hal. 245
[21]Abu Abdillah Muhammad ibn
ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H)
hal. 7
[23]Abu Abdillah Muhammad ibn
ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H)
hal. 149
[25]Muhammad 'Alawi al-Maliki,
al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah al-Mailk al-Fahd, 2000) hal. 121
[26] Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi,
Shahih Muslim (Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 93
[27] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhari (ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) hal. 133
[29] Ibnu Shalah Utsman ibn Abdirahman, Muqaddimah Ibn
al-Shalah (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986) hal. 93 dan 94
[31] Muhammad ibn 'Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (
Beirut: Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, tt) hal.48
[33] Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif
(Madinah : Maktabah al-Mailk al-Fahd, 2000) hal. 131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar