BAB I
PENDAHULUAN
I.a. Latar Belakang
Agama islam
memiliki sumber-sumber tetap dalam aturan ajaran agamanya. Dari sumber tersebut
dihasilkan hukum ajaran yang tidak lain adalah syariat. Sumber-sumber-tetap itu
adalah
al-Quran dan hadis.
Beberapa permasalahan
hukum terkadang tidak diketemukan jalan keluarnya. Sehingga hal ini menuntut
adanya sumber lain selain sumber-sumber tetap di atas. Salah satu sumber hukum
alternatif yang menjadi rujukan ketika tidak diketemukan nash (sumber-sumber
tetap) adalah 'urf.
Meskipun 'urf
termasuk salah satu kaedah ushul fiqh, tulisan ini juga akan sedikit
mencamtumkannya. Karena 'urf memiliki akitan erat atau bahkan sama saja dengan
kaedah fiqh yang akan menjadi tema pembahasan dalam tulisan ini. Yaitu العادة محكمة (ketika tradisi menjadi sebuah hukum).
I.b.
Rumusan Makalah
1.
Pengertian Kaedah
2.
Penjelasan Kaedah
3.
Contoh Kaedah
4.
Syarat diberlakukannya kaedah
5. Dasar
dalil kaedah
I.
c. Tujuan Makalah
Penulisan
makalah ini guna untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu,
sekaligus bertujuan untuk mengetahui salah satu kaedah fikih yang menjadi acuan
suatu hukum.
Dengan memahami seluk beluk kaedah
ini, para pembaca diharapkan mampu untuk mengerti hukum tertentu yang berkaitan
dengan adat, tradisi dan kebiasaan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi siapapun
yang membacanya. Akhirnya penulis mohon saran kritik untuk tulisan ini agar
dapat diperbaiki ke depannya. Karena makalah ini masih jauh darin kesempurnaan.
Jika saja ada kebaikan dan kebenaran itu semua berasal dari Allah yang
kebetulan dititipkan pada penulis. Kalaupun ada kesalahan dan kekurangan maka
itu murni bersumber dari penulis sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
KETIKA TRADISI MENJADI PERTIMBANGAN HUKUM
Kaedah
Kubra yang kelima ialah ;
العادة
محكمة
Ketika
tradisi menjadi hukum
Kaedah
ini termasuk kaedah yang sangat urgen sekali. Mengingat bahwasanya tradisi dan
adat adalah salah satu rujukan untuk memutuskan sebuah hukum syariat ketika
tidak diketemukannya dalil secara jelas yang menyatakannya.[1]
Sudah
jelas kiranya jika nash lebih kuat dan lebih dikedepankan ketimbang adat dan
tradisi. Nash yang dimaksud di sini mencakup al-Quran, hadis-yang menjadi
sumber hukum- sampai nash berupa ucapan seseorang. Ambil saja contoh, seseorang
menyuguhkan jamuan di depan para tamu yang menurut tradisi dan adat boleh-boleh
saja bagi tamu untuk menyantapnya karena secara tidak langsung itu adalah izin
untuk menyantapnya. Akan tetapi jika tuan rumah yang menyuguhkan melarang
dengan ucapannya (nash-nya), maka si tamu tidak boleh menyantapnya karena
diketemukan nash yang dapat menyalahi tradisi dan adat tersebut. Jika ia tetap
memakan dan menyantap maka ia telah melanggar nash.[2]
A.
Pengertian Kaedah dan definisinya
Al-'Aadah berasal dari akar kata عود 'ain, waw, dan dal. Ibnu Faris menuturkan bahwa
setiap kata yang berakar dari tiga huruf tersebut memiliki arti asal 'pengulangan
pada sesuatu'.[3] Boleh
jadi al-'Aadah yang dalam bahasa Indonesia 'kebiasaan' itu muncul dan ada
setelah adanya pengulangan pada sesuatu tersebut. Kemudian Ibnu Faris juga
lanjut menjelaskan bahwa kebiasaan itu bermula dari terus menerus pada sesuatu
sampai melekat dan terbiasa. Para psikolog berpendapat bahwa suatu pekerjaan
jika sering dilakukan, anggota tubuh akan terbiasa sehingga akan menjadi watak.[4] Ibnu Nujaim mendefinisikan Al-‘adah dengan
suatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang berulang-ulang
yang bisa diterima oleh tabiat yang sehat.
'Urf dalam literatur kamus bahasa arab memiliki arti
lebih dari satu. Ibnu Faris dalam kamusnya Maqayis al-Lughah menyebutkan
bahwa setiap kata yang berakar dari huruf 'ain, raa' dan faa' memiliki
dua makna asal tenang dan tenteram. Sesuatu yang (ma'ruf) dikenal
atau diketahui akan dirasa lebih tenang bagi seseorang karena telah dikenal.
Berbeda dengan sesuatu yang belum dikenal atau diketahui, karena seseorang akan
kurang nyaman dan tenang dengannya.[5]
'Urf dan 'Aadah memiliki makna yang sama. Kedua kata ini
adalah kata yang bersinonim. Karena 'Urf memiliki arti kebiasan dan konvensi
yang sudah tetap dan melekat sehingga bisa diterima oleh orang.[6] Dari
sini bisa dimengerti bahwa arti dari 'aadah memiliki kedekatan makna dengan
makna 'urf. Pakar bahasa mensyaratkan berulangnya sesuatu pada 'aadah dan
mensyaratkan terus dan berlangsungya sesuatu pada 'urf.[7]
Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta'rifat menjelaskan, 'urf
adalah sesuatu yang tetap dalam jiwa yang diakui oleh akal dan dapat diterima
oleh tabiat dan akal sehat, demikian juga pengertian 'aadah.[8]
Perlu diketahui bahwa 'aadah lebih umum dari pada 'urf,
karena 'urf hanya pada kebiasaan yang sudah dimengerti dan menjadi umum di
kalangan tertentu. Sedangkan 'aadah ialah kebiasaan suatu komunitas tertentu
atau daerah tertentu ataupun kebiasaan seseorang. Seperti kebiasaan jumlah haid
seorang perempuan.[9] Dan juga
'aadah mencakup kebiasaan personal dan kebiasaan yang timbul dari faktor alami
yang berlaku umum bagi sekelompok manusia. Sedangkan 'urf adalah kebiasaan yang
berlaku bagi masyarakat umum. Jadi bisa dikatakan bahwa perbandingan 'aadah dan
'urf adalah perbandingan antara suatu yang umum dengan suatu yang khusus
mutlak. Semua 'urf itu 'aadah dan tidak semua 'aadah itu 'urf. Karena 'aadah
terkadang untuk personal dan terkadang untuk umum.[10]
Ketika para pakar fiqh diminta untuk mendifinisikan
'aadah yang menjadi pertimbangan hukum, mereka menyamakan artinya dengan 'urf
dan menjadikan keduanya adalah sinonim. Sehingga mereka membuat kaedah العادة محكمة ini.[11]
Kata 'urf sendiri memiliki definisi bermacam-macam bagi fuqaha. Al-Nasafi
mendefinisikannya dengan 'segala sesuatu yang menetap dalam jiwa secara logis
sehingga dapat diterima oleh tabiat dan akal sehat'.[12]
Hal ini berarti segala ucapan atau perbuatan yang dapat diterima baik oleh akal
dan dirasa nyaman oleh hati sehingga orang normal tidak mengingkarinya dan
menganggapnya baik. Diantara mereka juga ada yang mengartikan 'urf dengan
'segala sesuatu yang menetap dalam jiwa dan dianggap baik dan diterima oleh
akal sehingga orang-orang selalu melakukannya dengan catatan sesuai dengan
syari'at dan nash-nashnya'. Ada juga yang mengartikan ‘urf dengan
apa yang dikenal manusia dan mengulang-ulangnya dalam ucapannya dan perbuatanya
sampai hal tersebut menjadi biasa dan berlaku umum.
Dari definisi 'aadah dan 'urf diatas, ada dua hal yang penting yaitu:
pertama, dalam al-‘adah ada unsur berulang-ulang dan dalam al-‘urf ada unsur
(al-ma’ruf) dikenal suatu yang baik. Kata-kata Al-‘urf ada hubungannya dengan
nilai tata masyarakat yang dianggap baik. Tidak hanya benar menurut keyakinan
masyarakat tetapi juga baik dilakukan atau diucapkan. Hal ini erat kaitannya
dengan “ al-amru bil ma’ruf wa al-nahy al-munkar " dalam Al-qur’an.
Tampaknya lebih tepat apabila al-‘adah atau al-‘urf ini didefiniskan
dengan: “ apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang
dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Dalam memutuskan suatu
perkara setidaknya ada dua macam pertimbangan yang harus diperhatikan. Pertama,
pertimbangan keadaan kasusnya itu sendiri, seperti apa kasusnya dimana
kapan terjadinya, bagaiman proses terjadinya , mengapa terjadi, dan siapa
pelakunya. Kedua, perimbangan hukum. Dalam pertimbangan hukum
inilah terutama untuk hukum-hukum yang tidak tegas disebutkan dalam Al-Qur’an
dan Al-Hadis, adat kebiasaan harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan
perkara.[13]
Menurut ahli ushul arti 'Aadah secara istilah yaitu 'sesuatu yang
berulang tanpa ada kaitan yang logis dan masuk akal'. jika ada suatu
pengulangan yang muncul karena adanya kaitan yang logis maka itu tidak disebut
'aadah. Seperti bergeraknya cincin karena bergeraknya jari. Karena pengulangan
disini ada kaitannya dengan hal yang logis yakni sebab dan akibat.
Sedangkan fuqaha sendiri mengartikan 'aadah dengan sesuatu yang berulang
dan menetap dalam jiwa dan juga bisa diterima oleh akal sehat'. Dari dua
definisi di atas bisa ditarik pemahaman bahwa ahli ushul dan pakar fiqh
menyepakati arti 'aadah dengan sesuatu yang berulang. Akan tetapi kedua kubu
berbeda pengertian dalam hal penafian adanya kaitan dengan akal. Dari sisi ini
definisi ahli ushul lebih khusus dibanding pengertian fuqaha yang cenderung lebih
umum.
Adapun kata muhakkamah memiliki arti 'memutuskan' atau
'menentukan'. Oleh karena itu 'aadah menjadi penentu dan pertimbangan dalam
memutuskan hukum.[14]
B. Penjelasan Kaedah
Makna kaedah ini adalah bahwa tradisi baik yang bersifat
umum maupun khusus- dapat menjadi suatu hukum untuk menetapkan hukum syariat
islam. Adapun tradisi dapat menjadi hukum yang mendapat legitimasi dari hukum
islam, apabila tidak ada nash yang menyatakan hukum itu. Akan tetapi apabila
ada nash yang menyatakan tentang hal itu, maka hukum dari nash tersebut wajib
diamalkan dan tidak ditinggalkan, untuk kemudian melaksanakan tradisi sebagai
ganti darinya.[15]
Sebelum Nabi muhammad SAW diutus,
adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di dunia arab maupun yang lain termasuk di
indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangu atas dasar nilai-nilai yang
dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami,
disikapi dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
Ketika islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai
ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan bertemu
dengan nilai-nilai adat kebiasaan dimasyarakat. Diantaranya ada yang sesuai
dengan nilai-nilai islam meskipun aspek filosofnya berbeda. Ada pula yang
berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dengan ajaran islam.
Disinilah kemudian ulama, membagi adat kebiasaan yang ada di masyarakat
menjadi العادة الصحيحة (adat
yang baik dan benar) dan ada pula العادة الفاسدة (adat
yang salah atau rusak).
Imam Izzudin bin Abdussalam menyatakan bahwa kemashlahatan dan
kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa diketahui kecuali dengan syari’at.
Sedangkan kemafsadatan dan kemashlahatn dunia saja, bisa dikenal dengan
pengalaman, adat kebiasaan, perkiraan yang benar, serta indikator.[16]
Abu Ishak As-syatibi (w. 790)
menyatakan bahwa dilihat dari sisi bentuknya dalm realitas, adat dapat dibagi
dua: pertama Al-‘adah ‘Al-ammah (adat
kebiasaan yang umum) ‘adat kebiasaan manusia yang tidak berbeda karena
perbedaan waktu, tempat dan keadaan seperti kebiasaan untuk makan, minum,
khawatir, kegembiraan, tidur, bangun, dan lain-lain. Kedua, Adat kebiasaan berbeda karena
perbedaan waktu, tempat, dan keadaan seperti bentuk-bentuk pakaian, rumah dan
lain-lain.[17]
Kaedah ini menjadi salah satu solusi bagi banyak
permasalahan kontemporer. Karena kedinamisannya dan fleksibel. Ibnu Abidin
pernah mengatakan[18] :
والعرف في الشرع له
اعتبار #
لذا عليه الحكم قد يدار
'urf dalam syari'at dapat dianggap dan terkadang ia menjadi
pertimbangan hukum.
C. Contoh Kaedah
Kaedah ini mempunyai cabangan atau contoh yang sangat banyak sekali.
Terkadang menjadi hukum dan terkadang menjadi pertimbangan hukum.
ü Ijarah
Diantaranya, orang yang menyerahkan bajunya kepada tukang jahit untuk
dijahit, atau kepada tukang loundry untuk dicuci, maka mereka semua berhak
mendapatkan upah sesuai dengan tradisi yang berlaku.
ü b. Jual beli.
Diantaranya juga, semua yang dilakukan oleh orang yang bertransaksi masuk
ke dalam kategori jual beli, tanpa perlu disebutkan lagi, seperti taman yang
mengelilingi rumah termasuk mabi' dalam akad jual beli rumah tanpa perlu
disebutkan lagi, karena hal itu sudah menjadi tradisi.[19]
ü c. Haidh
Para pakar fiqh menentukan, umur minimal bagi perempuan yang mulai
menstruasi yaitu sembilan tahun. Ketentuan ini berdasarkan penelitian pada
kebiasaan perempuan mulai haidh. Begitu juga dengan waktu minimal haidh, waktu
terlama haidh, hingga waktu minimal suci.
ü Baligh
Batasan mulainya baligh bagi anak laki-laki dengan mimpi basah untuk
pertama kali. Jika ia tidak pernah mimpi maka batas awal kebalighannya dimulai
pada usia 15 tahun. Ini berdasarkan ukuran pada umumnya anak laki-laki mimpi.
ü Memberi hadiah bagi penegak hukum
Hukum asal memberikan hadiah bagi hakim adalah haram. Akan tetapi jika ia
telah terbiasa memberinya hadiah semenjak ia belum diangkat menjadi hakim, maka
hukumnya boleh-boleh saja dengan catatan pemberian hadiah itu tidak melebihi
jumlah hadiah-hadiah sebelumnya.
ü Serah terima barang transaksi
Penjual menyerahkan barang dan pembeli menerima barang. Penyerahan barang
ini tergantung kebiasaan penyerahan pada barang tertentu. Misalnya jual beli
tanah, maka yang diserahkan adalah surat-suratnya. Penyerahan jual beli tanah
dengan mengosongkan isi perabot rumah. Hal ini berdasarkan adat kebiasaan.
ü Puasa setengah akhir bulan sya'ban
Puasa pada setengah akhir bulan sya'ban hukumnya tidak boleh kecuali
puasanya bersambung dengan hari kelima belas atau sesuai dengan hari dimana ia
berpuasa, seperti puasa senin dan kamis.
D. Syarat diberlakukannya Kaedah
1. Tidak ada perbedaan pendapat dalam mengamalkan tradisi dan kebiasaan, atau
umumnya dilakukan oleh manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam kaedah lain,
yaitu, "Sesuatu dianggap tradisi, apabila sudah berlaku atau sering kali
dilakukan orang-orang." Akan tetapi jika tradisi dan tradisi itu ada
perbedaan pendapat ataupun tidak umum dilakukan maka kebiasaan dan tradisi ini
tidak bisa dijadikan pertimbangan hukum.
Contoh : seseorang menjual sesuatu dan dia
hanya mengucapkan menjual dengan harga sepuluh. Maka harga sepuluh ini
dikembalikan menurut mata uang yang berlaku bagi penduduk daerah si penjual
seperti rupiah atau dollar. Akan tetapi jika daerah tersebut memiliki dua mata
uang maka harus ditentukan mana yang dia kehendaki.[20]
2. Tradisi yang menjadi pertimbangan
hukum haruslah kebiasaan yang ada pada permasalahan ataupun kebiasaan yang ada
sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh as-Suyuthi dan Ibnu
Nujaim, " 'urf yang menjadi pertimbangan hukum itu muncul sebelum atau
berbarengan dengan permasalahan, bukan setelah permasalahan. Tidak dianggap
adat atau tradisi yang muncul setelah permasalahan itu.
Berdasarkan hal ini, syarat-syarat para waqif wajib
ditafsirkan sesuai dengan tradisi yang berlaku saat syarat-syarat itu dibuat
dan bukan dikarenakan oleh tradisi yang datang setelah ditetapkannya
syarat-syarat itu.
Contoh : ketika waqif menetapkan syarat bahwa sebagian hasil bumi
yang diwakafkannya diberikan kepada para pelajar (Thalabatul ilmi) di Depok,
sedangkan pada saat itu –ketika waqif memberikan syarat- tradisi yang
berlaku adalah jika disebutkan thalabatul ilmi maka yang dimaksud adalah
pelajar yang menuntut ilmu agama. Maka pernyataan waqif ini tidak boleh
dibawa kepada tradisi yang berlaku sekarang, yaitu thalabatul ilmi adalah
penuntut segala ilmu apapun.
3. Disyaratkan juga untuk menetapkan tradisi menjadi hukum apabila tradisi itu
tidak bertentangan dengan nash syariat islam maupun syarat yang ditetapkan
antara dua orang yang melaksanakan akad.[21]
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa
al-‘adah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah al’adah
as-shahihah, bukan al-‘adah al-fasidah. Oleh karena itu, kaidah
tersebut tidak bisa digunakan apabila:
1.
Al-‘adah
bertentangan dengan nash Al-qur’an dan hadis, seperti: puasa sehari semalam, kebiasaan
menanam kepala hewan kurban waktu membuat jembatan. Kebiasaan memelihara babi,
dan lain sebagainya.
2.
Al-‘adah
tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan kemashlahatan
termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau kerusakan, seperti: menghambur-hamburkan
harta, hura-hura dalam perayaan dan lain-lain.
3.
Al-‘adah
berlaku umumya dikaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang bisa dilakukan oleh
beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh beberapa orang saja maka tidak
dianggap adat.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ibadah
mahdhah tidak dilakukan kecuali yang disyari’atkan Allah dan al-‘adah tidak
diharamkan kecuali yang diharamkan Allah.
Sering terjadi benturan antara nilai islam
dan tata nilai masyarakat dalam pelaksanaannya. Misalnya; masyarakat indonesia
menganut tata nilai kekeluargaan, islam pun menganut tata nilai persaudaraan
dan kekeluargaan. Dalam masyarakat semacam ini, aspek-aspek kelahiran,
pernikahan, dan kematian sudah menjadi adat kebiasaan memperingatinya atau
merayakannya. Apabila kita dekati masalah ini dari sisi kaidah fikih, maka
kaidah fikih asasi yang lima tersebut diatas juga harus diperhatikan dan
dijadikan pisau analisis terhadap kasus tersebut. Tidak cukup hanya dengan
menggunakan kaidah al-‘adah muhakkah tetapi juga kaidah-kaidah asasi
lainnya: al-‘umuru bi maqoshidiha, al-yaqin
la yuzal bisy- syakk, al-masyaqqah tajlibut taisir, dan adlororu yuzal.
Apabila dalam acara pernikahan, misalnya ada nyanyian,
hal itu memang wajar karena dalam suasana kegembiraan. Apabila kesenian pada
zaman nabi adalah rebana, sekarang boleh dengan cianjuran atau degung di
masyarakat sunda asal pakaiannya menutup aurat dan tidak ada porno aksi.[22]
E. Sumber Dalil Kaedah
Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat
Al-qur’an dan Hadis Nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-qur’an dan Hadis Nabi
yang menguatkanya. Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh
para ‘Ulama’ sepanjang sejarah hukum islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan. Diantara ayat-ayat Al-qur’an tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Ayat al-Quran
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ (
ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Kata Sabil diatas memiliki arti jalan. Kemudian jalan orang-orang
mukmin ditafsiri dengan cara atau metode orang-orang mukmin yang dianggap baik.
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah
dari orang-oarang yang bodoh. (Q.S. al-A’raf: 199)
4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÇËËÑÈ
Dan
bagi para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf
(Q.S. al-baqarah: 228 )
£`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 ÇÊÒÈ
Dan
pergauliah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf (baik). ( Q.S.an-nisa’: 19)
ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) Íou|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3Î=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷ÇÑÒÈ
Kaffarat
( melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian. (Q.S.89 al-maidah)
Kata awsath tidak dinaskan ukurannya, karena
kembali kepada ukuran adat kebiasaan makanan atau pakaian yang dimakan atau
dipakai oleh keluarga tersebut.
4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 ÇËÌÌÈ
Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma’ruf (Q.S.
Al-Baqarah: 233)
Rasyid Ridha dalam menjelaskan
kata-ata ma’ruf menyatakan bahwa ma’ruf adalah cukup dan layak untuk wanita
yang berlaku di kaumnya dan kelompoknya. Sedangkan dalam menjelaskan surat
Al-Baqarah ayat 233, ia menyatakan bahwa al-ma’ruf adalah dikenal manusia dalam
pergaulannya di keluarga dan yang biasa berlaku dalam adat mereka. Sedangkan
Ibnu Katsir menafsirkan ma’ruf dalam surat Al-Baqarah ayat 233, dengan adat
kebiasaan para wanita yang berlaku di negeri mereka.
2. Hadis
Adapun dalil hadis dari kaedah ini adalah suatu riwayat dari dari Abdullah
bin Mas'ud ra, ia berkata :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
"apa yang menurut kaum muslimin baik,
maka ia di sisi Allah baik".
Atsar ini sekalipun mauquf kepada Ibnu Mas'ud, akan tetapi hukumnya marfu',
karena dalam hal ini, akal tidak meiliki peran untuk ikut campur.[23]
Hadis telah ditakhrij oleh al-'alaai dan mengomentarinya tidak ada indikasi
dha'if dalam sanadnya. Sebagaimana tercantum dalam musnad Ahmad yang
meriwayatkan dari Abu Wail dari Ibnu Mas'ud. Dan juga disebutkan dalam kitab sunan
al-Bazzar, al-Thayalisi, al-Thabrani, al-Bayhaqi dan Hilyah al-Awliya.
Adapun Hadis-hadis Nabi di antaranya:
الوزن وزن اهل مكة والمكيال مكيال مدينة
"ukuran berat (timbangan) yang dipakai adalh ukuran berat ahli
makkah, sedangkan urusan isi yang dipakai adalah ukuran isi penduduk makah.(H.R.
Abu Dawud)
Ukuraan berat atau timbangan yang dipakai adalah timbangan penduduk
makah, karena kebiasaan penduduk penduduk makah adalah dagang. Sedangkan ukuran
kapasitas (isi) yang digunakan adalah yang biasa digunakan oleh penduduk ahli
Madinah, karena kebanyakan mereka bergerak di bidang pertanian. Maksudnya
apabila terjadi persengketaan, maka ukuran tersebut yang dipakai pada zaman
Nabi.
أن فاطمة بنت أبى حبيش سالت النبي صلى الله عليه وسلم قالت
إني أستحاض فلا أطهر أفأدع الصلاه فقال لا إن ذالك عرق ولكن دعي الصلاة قدر الأيام
التى كنت تحيضين فيها ثم اغتسلي وصلي
Fatimah binti Abi Hubasysy bertanya kepada Nabi saw: “
saya ini berada dalam kondisi Haid yang tidak berhenti apakah saya harus
meninggalkan shalat? Nabi menjawab: tidak, itu adalah darah penyakit, tapi
tinggalkanlah shalat berdasarkan hari-hari yang biasa engkau menstruasi.
Kemudian mandilah dan shalatlah. (H.R. Al-Bukhari dari ‘Aisyah)
Dari hadis diatas, jelas bahwa kebiasaan
para wanita, baik itu menstruasi, nifas, dan menghitung waktu hamil yang paling
panjang adalah jadi pegangan dalam penetapan hukum. Kata-kata qadra ayyam
dan seterusnya menunjukkan bahwa ukuran-ukuran tertentu bagi wanita mengikuti
yang biasa terjadi pada diri mereka.[24]
BAB III
PENUTUP
Kaedah العادة محكمة ini berarti
bahwa tradisi baik yang bersifat umum maupun khusus- dapat menjadi suatu hukum
untuk menetapkan hukum syariat islam. Adapun tradisi dapat menjadi hukum yang
mendapat legitimasi dari hukum islam, apabila tidak ada nash yang menyatakan
hukum itu. Akan tetapi apabila ada nash yang menyatakan tentang hal itu, maka
hukum dari nash tersebut wajib diamalkan dan tidak ditinggalkan, untuk kemudian
melaksanakan tradisi sebagai ganti darinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Penulis memohon kemurahan hati pembaca untuk mengoreksi ataupun memberikan
saran dan kritiknya sehingga tulisan ini dapat menjadi lebih baik.
BIBLIOGRAFI
Al-Quran
al-Karim
A. Djazuli, Kaidah-kaidah
hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang praktis. Kencana
Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
Abdul Azizi
Muhammad Azzam, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Dar al-Hadis (Kairo : 2005)
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi
al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100 Kaidah Fikih dalam kehidupan Sehari-hari.
Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar (Jakarta : 2008)
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughah. Ittihad
al-Kitab al-Arabi (ttp : 2002)
Abu Ishaq As-syatibi, Al-muwafaqat fi ushulissyari’ah. (kairo)
Ali Haidar, Durar
al-Hukkam.Dar al-Jil (Beirut: 2003)
Ali Muhammad al-Jurjani, al-Ta'rifat. Dar al-Kitab al-Arabi ( Beirut
: 1405 H)
Al-Nasafi, al-Mustashfa fi fiqh al-hanafiyah. Dar al-Kutub
al-Mishriyah (ttp : tt)
Al-Zarqa', al-Madkhal al-Fiqhi. Tp (ttp : tt)
Izzudin bin Abdussalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Tp (ttp
:tt)
Majma' al-Lughah al-'arabiyah, Mu'jam Wajiz. Wizarah al-Tarbiyah wa
al-Ta'lim ( Mesir : 1994)
Muhammad Shidqi bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa'id al-Fiqh
al-Kulliyah. Muassasah al-Risalah ( Beirut : 1996)
Saleh bin Ghanim al-Sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma
tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah ( Riyad : 1417 H)
[3] Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis
al-Lughah. Ittihad al-Kitab al-Arabi (ttp : 2002) 149
[4]Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma
tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah ( Riyad : 1417 H) 328
[5]Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Maqayis al-Lughah. Ittihad
al-Kitab al-Arabi (ttp : 2002)281
[7] Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id al-Fiqhiyah
al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah ( Riyad : 1417 H) 332 &
333
[11] Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id
al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah ( Riyad : 1417 H)
333
[13] A.
Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
praktis. Kencana Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
[14]Muhammad Shidqi
bin Ahmad al-Burnu, Al-Wajiz fi Idhah Qawa'id al-Fiqh al-Kulliyah.
Muassasah al-Risalah ( Beirut : 1996) 273-275
[15] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100 Kaidah Fikih
dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
[16]Izzudin bin Abdussalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Tp (ttp
:tt) hlm. 10.
[17] Abu Ishaq As-syatibi, Al-muwafaqat fi ushulissyari’ah, (kairo) juz II,
hlm, 297.
[18] Saleh bin Ghanim al-sadlan, al-Qawa'id
al-Fiqhiyah al-Kubra wa ma tafarra'a 'anha. Dar Blansiyah ( Riyad : 1417 H)
327
[19]
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100 Kaidah Fikih
dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
[21] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100 Kaidah Fikih
dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
[22]A. Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis. Kencana Prenada Media Group (Jakarta : 2006)
[23]
Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Syarh
al-Qawa'id al-Fiqhiyyah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah; 100 Kaidah Fikih
dalam kehidupan Sehari-hari. Penerjemah : Muhyidin Mas Rida Pustaka al-Kautsar
(Jakarta : 2008)
[24] A. Djazuli, Kaidah-kaidah hukum islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang praktis. Kencana Prenada Media Group (Jakarta
: 2006)http://www.scribd.com/doc/235180897/Ketika-Adat-Menjadi-Pertimbangan-Hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar