BAB
I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Berbicara tentang hadits, kita akan menemukan beberapa
pembagian
yang beragam. Mulai dari sisi kualitas, kuantitas, sampai segi penyandaran. Jadi
bisa dikata bahwa para ahli hadits sebelumnya sudah memformulasikan pembagian
hadits dengan sangat sistematis. Dengan formula itu mereka bisa mengkaji dan
meneliti dengan mudah.
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas pengklasifikasian hadits
dari satu arah. Yakni dari arah kuantitas perawi hadits. Makalah ini sebenarnya
memiliki judul 'Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur, Hadits Aziz, dan Hadits
Gharib'. Tetapi penulis sengaja mengganti judul, dikarenakan judul asli
langsung mengacu pada beberapa sub pembahasan dalam makalah ini. Kemudian
dengan inisiatif penulis sendiri, judul makalah ini diubah. Pada akhirnya
ditemukanlah judul yang lebih sesuai dari judul asli. Yaitu 'Klasifikasi Hadits
Dilihat dari Kaca Mata Kuantitas Perawi'. Sebelum pilihan jatuh pada judul
tersebut. Penulis sempat bingung memilih antara dua judul. Yakni dilihat dari
sisi kuantitas perawi atau dari sisi sampainya periwayatan kepada kita. Hal ini
dikarenakan beberapa literatur yang ditelaah penulis berbeda dalam menyebutkan
sisi pandang bahasan ini. Setelah mempertimbangkan mana diantara dua judul itu
yang lebih mudah dimengerti, maka penulis memilih judul 'Klasifikasi Hadits
Dilihat dari Kaca Mata Kuantitas Perawi'.
I.2. Rumusan Masalah
·
Dibagi
menjadi berapa hadits ditinjau dari segi kuantitasnya?
·
Apakah
hadits mutawatir, hadits ahad itu?
·
Dibagi
menjadi berapa hadits mutawatir dan hadits ahad?
·
Apa
yang dinamakan hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits gharib?
·
Apa saja
implikasi hukum dari masing-masing hadits?
I.3. Tujuan
Dengan mengetahui pembagian hadits ini, kita bisa memilah dan
memilih hadits yang dapat diterima dan sekaligus bisa dijadikan sebagai
landasan suatu hukum. Bahkan ketika ada suatu hadits yang masuk dalam kategori
mutawatir, kita dituntut untuk meyakini kebenarannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
Klasifikasi
Hadits Dilihat dari Kaca Mata Kuantitas Periwayat
Klasifikasi berasal dari bahasa inggris 'classification' yang
berarti pembagian.[1]
Kemudian kata ini diserap oleh bahasa Indonesia dan menjadi 'klasifikasi'. Sama halnya dengan kata 'kuantitas' yang
berupa serapan dari 'quantity' dan memilki arti banyaknya suatu benda atau
jumlah sesuatu.[2]
Kaca mata merupakan konotasi dari kata sudut pandang. Sedangkan 'periwayat'
berasal dari kata riwayat yang berarti cerita turun temurun. Selanjutnya diberi
imbuhan pe-, yang dapat memberi arti seseorang yang bercerita.
Pembagian hadits dilihat dari sisi jumlah perawi
1.
Hadits
yang isnadnya tidak ada batas tertentu[3],
yaitu hadits mutawatir
2.
Hadits
yang isnadnya bisa untuk dibatasi dengan hitungan tertentu, yaitu hadits ahad[4]
II.A. Hadits Mutawatir
Dalam kamus
al-munawir mutawatir memilki arti sesuatu yang berturut-turut.[5]
Sebagaimana firman Allah swt : -(( [6]ثُمَّ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَا ))- (Kemudian kami utus rasul-rasul kami secara berurutan). Kata
ini berbentuk isim fa'il dari mashdar, yaitu tawatur. Ini juga bisa diketahui bahwa kata tatabu'
merupakan sinonimnya. Secara istilah hadits mutawatir berarti hadits yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dari
sekelompok lain tanpa adanya batas yang sekiranya sejumlah orang itu mustahil bersekongkol untuk berbuat
bohong.[7]
Syarat
ketentuan hadits mutawatir:[8]
1)
Diriwayatkan
oleh sejumlah perawi yang banyak.
Ada silang pendapat mengenai batas minimal banyak dalam bab ini.
Pendapat itu antara lain; 5 perawi, 7 perawi, 10 perawi, 12 perawi, 20 perawi,
40 perawi, dan lain-lain. Tetapi pendapat yang lebih dikedepankan yang mengatakan
sepuluh orang. Sebagaimana disebutkan oleh Al-Suyuthi dalam matan Alfiyah;
199-وَمَا رَوَاهُ عَدَدٌ جَمٌ يَجِبْ # إِحَالَةُ
اجْتِمَاعِهِمْ عَلَى الْكَذِبْ
200-فَالمُتَوَاتِرُ ، وَقَوْمُ حَدَّدُوا # بِعَشْرَةٍ
، وَهْوَ لَدَيَّ أَجْوَدُ[9]
Hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang besar jumlahnya #
Disebut
mutawatir, mustahil bagi para perawi bersekongkol utntuk berdusta
Jumlah
besar ini oleh ulama dibatasi sepuluh periwayatan #
Pendapat ini
yang lebih saya kedepankan
Pendapat yang shahih yaitu tidak adanya pembatasan jumlah bilangan
perawi. Karena yang dianggap hanya ifadatul ilmi. Pendapat ini telah
ditarjih oleh Ibnu Hajar.[10]
2)
Mustahil
adanya persekongkolan diantara perawi untuk berbohong menurut akal dan secara
normal.
Hal ini bisa terjadi karena perbedaan letak daerah perawi, suku,
madzhab, waktu, dan sebagainya. Oleh karena itu, bisa dimungkinkan adanya
hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi namun tidak masuk dalam kategori
mutawatir.[11]
3)
Banyaknya
perawi dari awal sanad sampai akhir.
Dalam hal ini bisa dimungkinkan dalam satu tingkatan memilki banyak
sekali perawi, sedangkan pada tingkatan lain tidak terlalu banyak. Jikalau
terdapat perbedaan jumlah perawi dalam setiap tingkatan, maka yang dianggap
adalah bilangan yang terendah. Semakin banyak perawi dalam tiap tingkatan akan
menguatkan keshahihan hadits.
4)
Panca
indera menjadi sandaran dalam cara periwayatan, terutama pendengaran dan
penglihatan.
Sama halnya dengan anggota panca indera yang lain, seperti penciuman,
perasa, dan peraba.[12]
Boleh jadi dimengerti bahwa periwayatan mereka dengan menyatakan sami'na,
raiyna, lamasna, dan lain-lain. Beda halnya dengan akal sebagai sandaran
periwayatan, seperti pernyataan bahwa 'alam semesta ini merupakan suatu hal yang baru'. Maka pernyataan itu tidak bisa
dikatakan hadits mutawatir.[13]
Hadits
mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu;
1)
Mutawatir
secara lafadz
Hadits
yang mutawatir lafadz dan maknanya disebut mutawatir lafdzhi.[14]
Contoh:
(( مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ[15]
))
Siapa
yang sengaja berdusta atas namaku, ia telah memesan tempat di dalam neraka
Hadits ini telah diriwayatkan oleh
sekitar tujuh puluh sahabat.[16]
Ada yang mengatakan dua ratus sahabat.[17]
Sebagian al-Hafidz dalam ilmu hadits menyebutkan 62 sahabat. Yang mana diantara
mereka termasuk sepuluh sahabat yang telah dijamin masuk surga. Ibnu Shalah
menuturkan bahwa hadits mutawatir lafdzhi sangat langka keberadaannya.[18]
2)
Mutawatir
secara maknawi
Yaitu hadits yang mutawatir dalam
maknanya saja. Hadits ini terdapat pada beberapa kejadian dan memiliki benang
merah yang sama. Misalnya ada seseorang yang memberitakan bahwa si Hatim telah
bersedekah sebuah onta. Orang yang lain mengatakan si Hatim telah bersedekah
sebuah kuda. Sedangkan yang lainnya lagi menuturkan si Hatim bersedekah
sekeping dinar, dan seterusnya. Dari gambaran ini
dapat dipahami bahwa pengkabaran mereka yang berbeda-beda bisa
diambil garis persamaan, yaitu si Hatim bersedekah.[19]
Contoh:
· Hadits yang menerangkan tentang telaga rasul yang diriwayatkan oleh
50 sahabat.
· Begitu juga hadits tentang syafaat, sebagaimana disebutkan oleh
al-Qadlhi 'Iyadlh. Perawi dari kalangan sahabat mencapai lebih dari 40 orang
· Ibnu Abdul Bar juga menuturkan, kurang lebih ada 70 sahabat yang
meriwayatkan hadits tentang mengusap pada sepasang khuff.
· Sekitar 100 sahabat telah meriwayatkan hadits tentang mengangkat
kedua tangan ketika berdo'a.[20]
· Hadits tentang 'melihat Allah swt di Akhirat'.[21]
Jumlah hadits mutawatir secara
keseluruhan sedikit sekali dibanding jumlah hadits ahad.[22]
Bahkan saking sedikitnya, hampir tidak ditemukan dalam periwayatan para perawi.
Istilah mutawatir lebih familiar dalam disiplin ilmu ushul Fiqh. Karena para
ahli hadits tidak menamakannya dengan nama khusus dan bisa jadi mutawatir bukan
produk mereka.[23]
Muhadditsin lebih konsentrasi pada hadits ahad yang memerlukan penelitian para
perawinya.[24]
Hadits yang masuk dalam kategori
mutawatir secara keseluruhan bisa diterima dan tidak butuh untuk menyelidiki
pribadi para perawi. Bahkan wajib untuk mengamalkannya.[25]
Dan juga orang yang mengingkari hadits mutawatir divonis kafir.[26]
Hadits mutawatir ini juga dapat berimplikasi pada hukum ilmu
Dlharuri. Ilmu Dlharuri yaitu ilmu
yang menuntut kita untuk membenarkannya, sekiranya tidak bisa
ditolak. Seperti orang yang menyaksikannya secara langsung.[27]
Sebagaimana al-Imrithi menyebutkan dalam waraqat-nya[28];
وَالعِلمُ إمَّاْ بِاضْطِرَاْرٍ يَحْصُلُ # أو
بِاكْتِسَابٍ حَاصِلٌ فَالأَوَّلُ
Ilmu
itu ada dua, dharuri dan muktasab
كَالْمُستَفادِ بِالحَواسِ الخَمسِ # بِالشَّمِّ أو بِالذَّوْقِ أو بِالَّلمسِ
Ilmu
dharuri bisa diketahui dengan panca indra
وَالسَّمعِ والإِبصَارِ ثُمَّ التَّالِي # مَا كانَ مَوقُوفاً عَلَى اسْتِدلالِ
Ilmu
muktasab bisa diketahu dengan cara 'istidlal
'
Hanya segelintir ulama saja yang
telah mengumpulkan dan membukukan hadits mutawatir. Beberapa karya ulama yang
memuat hadits mutawatir antara lain;
ü Al-Azhar al-Mutanatsirah fi
al-Akhbar al-Mutawatirah, karya
al-Suyuthi (W.Th.911 H) Kitab ini disusun berurutan sesuai bab. Beliau
menyebutkan hadits yang telah diriwayatkan oleh sepuluh atau lebih perawi. Tak
luput juga penyebutan sanad pada tiap hadits. Bahkan semua matan hadits
termasuk dalam kategori hadits mutawatir lafdzhi. Kitab ini memuat kurang lebih
seratus hadits.[29]
ü Qathf al-Azhar, karya al-Suyuthi. Kitab ini merupakan ringkasan kitab Al-Azhar
al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah. Di dalamnya memuat hadits yang
telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.[30]
ü Nadzhm al-Mutanatsir Min al-Hadits
al-Mutawatir, karya
Muhammad bin Ja'far al-Katani (W.Th. 1345 H). Kitab ini memuat 310 hadits mutawatir
lafdzhi dan maknawi.[31]
II.B. Hadits Ahad
Ahad merupakan
bentuk plural dari ahad yang berarti satu. Dalam etimologi yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh satu orang. [32]
Sedangkan dalam terminologi ialah hadits yang tidak memenuhi kriteria dan
syarat Mutawatir. Dengan pengertian ini bisa mencakup hadits yang diriwayatkan
oleh satu perawi atau lebih dalam satu tingkatan atau keseluruhan, selama tidak
sama dengan jumlah mutawatir.[33]
Hadits
ahad dibagi menjadi tiga, yaitu;
a)
Hadits
Masyhur
b)
Hadits
Aziz
c)
Hadits
Gharib
Perlu diketahui bahwa jumlah perawi yang dianggap dalam macam-macam
hadits ahad adalah jumlah bilangan perawi yang paling sedikit. Meskipun dalam
tingkatan sanad berbeda-beda jumlahnya. Misalnya, suatu hadits pada tingkatan
kesekian berjumlah delapan perawi, pada tingkatan kesekian lima perawi, dan
pada tingkatan kesekian dua perawi. Maka hadits tersebut bisa digolongkan dalam
hadits aziz.
B.1. Hadits
Masyhur
Menurut bahasa merupakan
isim maf’ul dari شَهَرْتُ الأَمْرَ, yang berarti saya mengumumkan
atau menampakkan suatu perkara. Disebut seperti itu karena penampakanya yang
jelas.
Menurut istilah, hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang perawi atau lebih disetiap tingkatanya, asalkan jumlahnya tidak
mencapai derajat mutawatir.
Contoh:
((إِنَّ اللهَ لايَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ[34]... )) Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu
saja, melainkan Dia mencabutnya
Terkadang hadits masyhur juga dimasudkan pada hadits
yang telah populer (masyhur) dikalangan tertentu, namun tidak memiliki syarat-syarat
yang dituntut sebagai hadits masyhur dalam bab ini. Hal itu bisa berupa:
a. Haditsnya memiliki hanya satu sanad.
b. Haditsnya memiliki lebih dari saru sanad.
c. Haditsnya tidak memiliki sanad.
Jenis-jenis masyhur yang tidak
tergolong istilah hadits masyhur sangat
banyak, diantaranya:
a. Masyhur di kalangan ahli hadits.
Contoh: hadits
yang diriwayatkan oleh Anas:
((إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلي الله عليه وسلم قَنَّتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوْعِ يَدْعُوْ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ[35]))
Bahwa Rasulullah saw melakukan (doa) qunr
selama saru bulan, (dilakukan) setelah ruku’, dengan mendoakan (kabilah) Ri’lin
dan Dzakwan.
b. Masyhur dikalangan ahli hadits, para ulama’
maupun masyarakat awam, contoh;
Orang muslim itu adalah orang yang
menyelamatkan muslim lainnya dari perkataan dan tangannya.
c. Masyhur dikalangan ahli fiqih, contoh:
Perkara halal yang dibenci Allah adalah talaq.
d. Masyhur dikalangan ahli ushul, contoh:
Diangkat dari umatku (dosa) atas
kekeliruan, lupa, dan hal yang memaksa.
e. Masyhur dikalangan ahli nahwu, contoh:
(( نِعْمَ العَبْدُ صُهَيْبٌ لَوْ لَمْ يَخَفِ اللهَ لَمْ يَعْصِهِ ))
Sebaik-baik hamba adalah Syuhaib, seandainya ia tidak
takut kepada maka ia tidak akan berbuat maksiat[39].
f. Masyhur dikalangan masyarakat awam, contoh:
Tergesa-gesa itu adalah perbuatan setan.
Beberapa ulama menamai hadits masyhur dengan hadits mustafidlh.
Tetapi sebagian yang lain membedakan antara keduanya. Menurut mereka, mustafidlh
ialah hadits yang perawi awal sanad dan akhir sanad memiliki jumlah yang sama,
yaitu dua. Sedangkan masyhur lebih umum dari mustafidlh. Ada juga
yang berpendapat sebaliknya.[41] Hadits
masyhur memiliki beberapa implikasi hukum. Masyhur menurut istilah
maupun yang tidak termasuk istilah tidak dapat diklaim sebagai hadits yang shahih
atau tidak shahih, melainkan ada yang hasan, dla’if, bahkan
yang maudlu. Hadits masyhur –menurut istilah hadits- yang shahih
memiliki kriteria lebih kuat dari hadits aziz dan hadits gharib.
Berikut ini
kitab-kitab hadits masyhur yang beredar ditengah-tengah masyarakat,
bukan masyhur menurut istilah hadits, diantaranya:
a. Al-Maqashid
al-Hasanah fima Isytahara ‘ala al-Alsinah. Karya al-Sakhawi.
b. Kasyfu
al-Khafa wa Muzail al-Ilbas fima Isytahara min al-Hadits ‘ala al-Sinati an-Nas. Karya al-Ajiluni.
c. Tamyizu
at-Tayyib min al-Khabits fima Yaduru ‘ala Alsinati an-Nas min al-Hadits. Karya Ibnu ad-Daiba’ as-Syaibani.
d. Al-Nawafih
al-'Athirah Fi al-Ahadits al-Musytahirah, karya Muhammad bin Ahmad al-Shan'ani
B. 2. Hadits
Aziz
Dalam segi etimologi, aziz berasal dari huruf 'ain, zay,
dan zay. Yang asalnya memilki arti kekuatan.[42]
Begitu juga ketika kata kerjanya diikutkan wazan yaf'alu maka berarti
kuat. Tetapi jika ber-wazan yaf'ilu maka berarti
sedikit atau jarang. Secara ishtilah, hadits aziz berarti hadits
yang perawinya tidak kurang dari dua dalam semua tingkatan sanad. Devinisi ini
paling akurat menurut Ibnu Hajar al-'Atsqalani.[43]
Contoh:
Diriwayatkan
oleh Syaikhan dari haditsnya Anas, dan Bukhari dari haditsnya Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah saw bersabda;
لَا
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ[44]
Tidak beriman
salah seorang diantara kalian hingga aku lebih di cintai dari bapaknya, dari
anaknya, dan manusia seluruhnya
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Qatadah dan Abdul Aziz
bin Shuhaib dari Anas -- Syu’bah dan sa’id dari Qatadah -- Ismail
bin’Ulayyah dan Abdul Writs dari Abdul Aziz – dan segolongan perawi dari
keduanya.
Hadits aziz terkadang bisa shahih,
hasan, maupun dlha'if.[45] Tidak ditemukan ulama yang memilki karya
khusus yang memuat hadits-hadits aziz. Hal ini dikarenakan karena jumlahnya yang
tidak banyak dan kurang memiliki urgensi.[46]
B.3. Hadits
Gharib
Dari segi bahasa gharib berarti sesuatu yang menyendiri dari
tempat tinggalnya. Dalam kamus al-Munawir gharib juga diartikan dengan
sesuatu yang asing, yang aneh, yang sulit dipahami. Sedangkan menurut
terminologi berarti hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja.
Hal ini bisa terjadi pada semua tingkatan ataupun hanya satu tingkatan saja.
Bisa jadi keasingan hadits gharib ini dengan adanya penambahan matan atau sanad
dibanding hadis yang lain. Dinamakan gharib karena perawi hadits ini
berbeda sendiri dengan yang lain.[47]
Dilihat dari
dua sisi, hadits gharib dibagi menjadi tiga, yaitu[48];
1. Gharib
dalam sanad
2. Gharib
dalam matan
3. Gharib
dalam matan dan sanad
Hadits gharib dalam sanad dibagi menjadi dua, yaitu;
1.
Hadits Gharib Muthlaq
Yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi dari kalangan sahabat atau tabi'in.[49]
Terkadang hadist gharib muthlaq hanya memilki satu perawi di semua tingkatan sampai akhir
sanad. Tetapi ada juga yang memiliki satu perawi dari kalangan sahabat atau
tabi'in, kemudian kelanjutan sanadnya tidak hanya satu perawi.
Contoh:
·
(( إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ[50]
))
Sesungguhnya amal perbuatan tergantung dari niatnya. Orang yang
hijrah semata-mata karena dunia ataupun perempuan yang ingin ia nikahi, nilai
hijrahnya seperti apa yang ia niati.
Hadits diatas
hanya diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab dari kalangan sahabat.
·
((
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ[51]
))
Iman itu terbilang 70 cabang. dan rasa malu,merupakan salah satu
cabang iman.
Hadits ini hanya
driwayatkan oleh seorang sahabat saja, yaitu Abu Hurairah.
2.
Hadits Gharib Nisbi
Adalah
hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi selain sahabat atau tabi'in. Dinamakan
gharib nisbi karena perawi tunggal dinisbatkan pada orang tertentu.[52]
Juga karena hadits ini dinisbatkan pada beberapa hal tertentu. Seperti halnya
ketika suatu hadits tidak diriwayatkan kecuali oleh satu perawi yang tsiqah.
Terkadang juga suatu hadits hanya diriwayatkan oleh satu perawi tertentu dari
satu perawi tertentu. Ataupun suatu hadits hanya diriwayatkan oleh perawi
daerah tertentu, seperti penduduk Makkah atau penduduk Syam. Begitu juga hadits
yang hanya diriwayatkan oleh perawi daerah tertentu dari perawi daerah tertentu
yang lain, seperti penduduk Bashrah meriwayatkan dari penduduk Madinah.[53]
Contoh:
· كَانَ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى
الأَضْحَى وَالْفِطْرِ بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ
وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)[54]
Nabi
saw membaca surat Qaf dan surah al-Qamar pada shalat idul fitri dan idul adlha.
Dari
perawi-perawi hadits diatas hanya Dhamrah bin Sa'id al-Mazini yang dinilai
tsiqah dan hanya dia yang meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdullah, dari Abu
Waqid al-Laitsi, dari Nabi saw.
Hadits gharib juga bisa disebut hadits fard menurut
mayoritas ulama. Tetapi sebagian ulama membedakan dua istilah tersebut. Ibnu
Hajar menengahi keduanya dengan menyebut hadits fard lebih spesifik pada
hadits gharib muthlaq. Sedangkan istilah hadits gharib lebih
sering digunakan pada hadits gharib nisbi.[55]
Gharib dalam segi matan hadits secara tidak langsung tidak ada
kaitannya dengan pembagian hadits menurut jumlah perawinya. Tidak ada salahnya
penulis sedikit menyinggung gharib matan. Karena istilah ini dikenal dalam
pembahasan matan.[56]
Hal ini bertujuan agar bisa memahami
pembahasan secara komperhensif. Sedangkan gharib matan dan sanad
terjadi ketika suatu matan hadits hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja.[57]
Terkadang hadits gharib bisa masuk dalam kategori shahih, kadang
kala hasan. Bahkan yang sering terjadi, hadits gharib masuk dalam golongan
hadits dlha'if. Hal ini mengacu pada sisi ke-dlhabt-an dan tidaknya
perawi.[58]
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits satu perawi yang tsiqah dapat
dijadikan dasar hukum sehingga wajib untuk diamalkan.[59]
BAB III
PENUTUP
Hemat penulis, pembagian hadits dalam tulisan ini ibarat
penyortiran. Jika suatu hadits tidak memenuhi kriteria mutawatir maka akan
turun menjadi masyhur. Jika tidak masuk juga dalam kategori masyhur maka digolongkan
hadits aziz. Kalaupun tidak bisa digolongkan dalam hadits aziz maka masuk pada
hadits gharib. Dari sedikit tulisan ini, penulis hanya bisa menyimpulkan
sebagaimana berikut;
ü
Hadits
dilihat dari jumlah perawinya dibagi menjadi dua, yaitu; hadits mutawatir dan
hadits ahad.
ü
Hadits
mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh sekelompok orang dari sekelompok lain tanpa adanya batas yang
sekiranya sejumlah orang itu mustahil
bersekongkol untuk berbuat bohong.
ü
Hadits
mutawatir dibagi menjadi dua, yaitu; mutawatir lafdzhi dan mutawatir
ü
Hadits
ahad ialah hadits yang tidak memenuhi kriteria dan syarat Mutawatir.
ü
Hadits
mutawatir dibagi menjadi tiga, yaitu; hadits masyhur, hadits aziz, dan hadits
gharib hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih disetiap
tingkatanya, asalkan jumlahnya tidak mencapai derajat mutawatir.
ü
Hadits
aziz adalah berarti hadits yang perawinya tidak kurang dari dua dalam semua
tingkatan sanad.
ü
Hadits
gharib adalah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja.
Alhamdulillah,
berkat pertolongan dari Allah swt tulisan ini bisa diselesaikan. Meski makalah
ini tidak luput dari kekurangan, kesalahan, dan jauh dari kesempurnaan. Sangat
diharapkan sekali koreksi maupun saran dan kritik dari para pembaca guna membangun
kualitas kami. Semoga tulisan ini menjadi berkah dan bermanfaat. Serta
dijadikan oleh Allah menjadi amal shalih yang hanya mengharapkan keridhaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
al-Karim
Abdul al-Rahman
Muhammad al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr al-'Arabi)
Abdullah Sirajuddin, Syarh al-Mandzhumah al-Bayquniyah
(Alleppo : Dar al-Falah, 1951)
Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Fi Syarh
Taqrib al-Nawawi (Riyadh : Maktabah al-Riyadlh al-Haditsah,tt)
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, Musnad al- Imam Ahmad
bin Hanbal ( Kairo: Muassasah Qurtubah, tt )
Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H)
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt)
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim bin al-Hajjaj ( Beirut: Dar ihya al-Turats al-'Arabi, 1392 H )
Ahmad bin Faris, Maqayis al-Lughah ( ttp: Ittihad al-Kitab
al-Arab, tt )
Ahmad warson munawir, Kamus a-lmunawir (Surabaya : Pustaka
Progresif, 2002)
Al-Hafidzh Ibnu Hajar al-'Atsqalani, Nuzhah al-Nadzhar Fi
Taudlhi Nukhbah al-Fikr Fi Mushthalah Ahl al-Atsar (ttp: tp, tt)
Al-Suyuthi, Alfiyah al-Suyuthi Fi Ilm al-Hadits (ttp : tp,
tt) /Maktabah al-Syamila
Hasan Shadily dan John M Echols, Kamus inggris-indonesia (
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010 )
Ibnu Shalah Utsman ibn Abdirahman, Muqaddimah Ibn al-Shalah
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986)
_______Kamus Besar Bahasa Indonesia digital offline.
M Syuhudi Ismail, Pengantar ilmu hadits (Bandung: Angkasa,
tt)
Mahmud al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah :
al-Haramain, 1985)
Mahmud Rasyad Khalifah, Ulum al-Hadits (Cairo : Dar
al-Manar, 2004) hal. 139
Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah :
Maktabah al-Mailk al-Fahd, 2000)
Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-qawaid al-asasiyah (Jakarta :
Dinamika berkah Utama, tt)
Muhammad bin Abdullah al- hakim, al-Mustadrak ( ttp: tp, tt
)
Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban ( ttp: tp, tt )
Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami' al-Shahih Sunan
al-Tirmidzi ( Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt )
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith Fi Ulum Mushtalah
al-Hadits ( Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt )
Muhammad
bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah ( Beirut: Dar al-Fikr, tt )
Syarafuddin
Yahya al-Imrithi, Nadzhm al-Waraqat Fi al-Ushul al-Fiqhiyyat ( ttp : tp,
tt )
Syihabuddin
dan Hasan Bashari, Mabadi 'ulum al-hadits (Jakarta :Fakultas Dirasat
islamiyah UIN, 2008)
[1] Hasan Shadily dan John M Echols, Kamus inggris-indonesia (
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010 ) hal. 116
[3] Ulama berbeda pendapat mengenai ada dan tidaknya pembatasan dalam
jumlah minimal perawi dalam hadits mutawatir. Bahkan antara ulama yang
berpendapat adanya batas pun berselisih tentang jumlah minimal secara pasti.
Lihat Syarh al-Mandzhumah al-Bayquniyah (Alleppo : Dar al-Falah, 1951)
hal. 94
[10] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith Fi Ulum Mushtalah
al-Hadits ( Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, tt ) hal. 189
[11] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985) hal.20
[12] Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah :
Maktabah al-Mailk al-Fahd, 2000)
hal.
95
[13] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985)
hal.20
[14] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985)
hal.20
[15] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) hal.
111
[16] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985)
hal.21
[18] Muhammad
'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah al-Mailk
al-Fahd, 2000) hal. 95
[19] Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Fi Syarh
Taqrib al-Nawawi (Riyadh : Maktabah al-Riyadlh al-Haditsah,tt) Juz 2/ Hal.
180
[20] Muhammad
'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah al-Mailk
al-Fahd, 2000) hal. 96
[21] Abdullah
Sirajuddin, Syarh al-Mandzhumah al-Bayquniyah (Alleppo : Dar al-Falah,
1951) hal. 94
[22] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985)
hal.21
[23] Ibnu Shalah Utsman ibn Abdirahman, Muqaddimah Ibn al-Shalah
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1986) hal. 267
[24] Abdul al-Rahman Muhammad al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits
an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr
al-'Arabi) hal. 185
[25] Ada
perbedaan Pendapat dalam hal ini. Lihat, Syihabuddin dan
Hasan Bashari, Mabadi 'ulum al-hadits (Jakarta :Fakultas Dirasat
islamiyah UIN, 2008) hal.71
[26] Muhammad
'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah al-Mailk
al-Fahd, 2000) hal. 96
[27] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985)
hal.20
[28] Syarafuddin Yahya al-Imrithi, Nadzhm al-Waraqat Fi al-Ushul
al-Fiqhiyyat ( ttp : tp, tt ) hal.2/
Bait ke-30 s/d 32
[29] Abdul al-Rahman Muhammad al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits
an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr al-'Arabi) hal. 185
[30] Abdul al-Rahman Muhammad al-Rifa'I, Al-Taysir Fi Ulumil Hadits
an-Nabawi (Cairo : Dar al-Fikr
al-'Arabi) hal. 186
[31] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985)
hal.20
[32] Al-Hafidzh Ibnu Hajar al-'Atsqalani, Nuzhah al-Nadzhar Fi
Taudlhi Nukhbah al-Fikr Fi Mushthalah Ahl al-Atsar (ttp: tp, tt) hal. 6
[33] Muhammad bin
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith Fi Ulum Mushtalah al-Hadits ( Kairo: Dar
al-Fikr al-Arabi, tt ) hal. 198
[34] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) Hal. 105/Jilid 1.
Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah ( Beirut:
Dar al-Fikr, tt ) hal. 20
Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, al-Jami' al-Shahih Sunan
al-Tirmidzi ( Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt ) hal. 31
Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, Musnad al- Imam Ahmad
bin Hanbal ( Kairo: Muassasah Qurtubah, tt ) hal. 190
[35] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) Hal. 143/Jilid 10
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 137/ Jilid 2
[36] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) Hal. 13/Jilid 1
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 48/ Jilid 1
Muhammad bin Hibban, Shahih Ibnu Hibban ( ttp: tp, tt ) hal.
468/ Jld. 29
[39] Al-Suyuthi menuqil dari al-'iraqi bahwa
hadits ini tidak ada asal muasalnya. Lihat. Tadrib al-Rawi Fi Syarh taqrib
al-Nawawi hal. 73/2
[40] Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Al-Jami' al-Shahih Sunan
al-Tirmidzi ( Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, tt ) hal. 367/ Jld.4
[43] Mahmud
al-Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Jeddah : al-Haramain, 1985) hal.
26
[44] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) Hal. 19/Jilid 1
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 49/ Jilid 1
[45] Muhammad 'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah :
Maktabah al-Mailk al-Fahd, 2000)
hal. 89
[47]Muhammad 'Alawi
al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah al-Mailk al-Fahd,
2000) hal. 84
[49] Syihabuddin dan
Hasan Bashari, Mabadi 'ulum al-hadits (Jakarta :Fakultas Dirasat
islamiyah UIN, 2008) hal. 74
[50] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) Hal. 1/Jilid 1
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 48/ Jilid 6
[51] Abu Abdillah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari
(ttp: Dar Thauq al-Najah, 1422 H) Hal. 12/Jilid 1
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim
(Beirut : Dar al-Jil, tt) hal. 46/ Jilid 1
[52] Syihabuddin dan Hasan Bashari, Mabadi 'ulum al-hadits (Jakarta
:Fakultas Dirasat islamiyah UIN, 2008) hal. 74
[54]Abu al-Husain
Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim (Beirut : Dar al-Jil,
tt) hal.21/ 3
[55] Al-Hafidzh Ibnu Hajar al-'Atsqalani, Nuzhah al-Nadzhar Fi
Taudlhi Nukhbah al-Fikr Fi Mushthalah Ahl al-Atsar (ttp: tp, tt) hal.8
[58] Muhammad
'Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Lathif (Madinah : Maktabah al-Mailk
al-Fahd, 2000) hal. 87
[59] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih
Muslim bin al-Hajjaj ( Beirut: Dar ihya al-Turats al-'Arabi, 1392 H ) hal.
130/1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar